Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MAHKAMAH Konstitusi semakin menahbiskan diri sebagai institusi "superbodi". Untuk kesekian kali lembaga ini menelurkan putusan yang mengatur dirinya sendiri. Senin pekan lalu, para hakim konstitusi itu membatalkan kewenangan institusinya menyidangkan perkara sengketa hasil pemilihan kepala daerah, yang telah dijalankan sejak 29 Oktober 2008.
Dasar pengijaban gugatan uji materi yang diajukan empat pemohon ini cukup mengejutkan. Majelis hakim konstitusi menilai kewenangan Mahkamah Konstitusi mengadili sengketa pilkada, seperti yang digariskan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah, bertentangan dengan konstitusi. Seluruh kewenangan ini dikembalikan ke Dewan Perwakilan Rakyat, untuk selanjutnya diserahkan ke lembaga lain.
Selain mempertontonkan kewenangan besar, putusan ini menunjukkan sikap nifak Mahkamah Konstitusi. Sepanjang enam tahun terakhir, lembaga ini telah menyidangkan lebih dari 650 gugatan sengketa pilkada. Dalam semua amar putusan selalu disuratkan kalimat "Mahkamah Konstitusi berwenang menyidangkan perkara". Di sini letak sikap tidak konsisten: sebelumnya mengaku berwenang, lalu dengan mudah meralatnya.
Sejak awal kewenangan yang besar ini memantik pro-kontra. Selain soal aturan yang abu-abu, Mahkamah Konstitusi lebih memilih mengurus perkara sengketa pilkada ketimbang tugas utama mengawal konstitusi. Akibatnya, sembilan hakim konstitusi lebih cepat merampungkan persidangan gugatan kepala daerah ketimbang memutus perkara yang sifatnya lebih substantif.
Belakangan terkuak, pilihan itu ternyata tidak gratis. Tertangkap tangannya Akil Mochtar, ketika itu Ketua Mahkamah Konstitusi, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sewaktu menerima suap saat menangani sengketa pemilihan Bupati Gunung Mas, Kalimantan Tengah, dan Lebak, Banten, menjadi petunjuk jelas terjadinya praktek jual-beli putusan di lembaga itu. Akil juga diketahui meraup Rp 57 miliar dari belasan sengketa pilkada lain.
Setelah Mahkamah Konstitusi menanggalkan kewenangan, pemerintah harus bergerak cepat menyiapkan lembaga yang bertugas menyidangkan sengketa pilkada. Kementerian Dalam Negeri, sebagai wakil pemerintah, mesti menyisipkan klausul pembentukan lembaga peradilan khusus dalam revisi Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang sedang bergulir di DPR. Pembentukan lembaga baru jauh lebih tepat ketimbang mengembalikan lagi kewenangan itu ke Mahkamah Agung. Timbunan persoalan, seperti masih banyaknya hakim nakal, tumpukan perkara di Mahkamah Agung, dan keterbatasan sumber daya manusia, juga membuat lembaga itu sulit diharapkan berfungsi efektif.
Lembaga peradilan khusus itu bisa didirikan di tiga wilayah Indonesia, barat, tengah, dan timur, agar penyelesaian sengketa tidak terpusat di satu tempat. Struktur lembaga ini bisa dibuat berjenjang, baik untuk menangani sengketa pilkada tingkat provinsi maupun kota/kabupaten.
Organisasi baru ini mesti diisi orang-orang yang berkualitas dan independen. Tak mesti semuanya orang hukum, bisa juga berasal dari kalangan profesional yang memahami tata cara dan undang-undang pemilihan kepala daerah. Hal yang tak kalah penting, lembaga baru itu mesti menyiapkan standar baku penanganan sengketa pilkada. Centang-perenang penanganan perkara yang selama ini terjadi di Mahkamah Konstitusi mesti menjadi pelajaran berharga untuk tak diulangi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo