Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Transaksi Dahulu Koalisi Kemudian

26 Mei 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEKUASAAN yang dibangun koalisi partai politik seharusnya bertujuan satu: memperbaiki kehidupan rakyat. Pemilihan umum legislatif pada 9 April lalu tidak menghasilkan pemenang dengan suara mayoritas mutlak. Keadaan itu mengharuskan beberapa partai bergabung untuk memenuhi syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. Konsekuensinya, semestinya tujuan meraih kekuasaan untuk meningkatkan kesejahteraan orang banyak itu sekarang bukan hanya beban satu partai, melainkan sekelompok partai.

Sangat beralasan bila kita khawatir melihat gelagat dan proses pembentukan dua koalisi tersebut. Koalisi gendut yang menyokong Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa sebagai presiden dan wakil presiden agaknya mengulangi karakter koalisi bentukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono: perkumpulan dengan buhul transaksi. Dalam hal koalisi Demokrat, ini terjadi lantaran, sebagai pemimpin koalisi, partai itu tak punya pilihan selain melakukan "barter politik". Kegagalan merebut kemenangan mutlak dalam pemilu legislatif merupakan penyebabnya.

Partai Gerindra, dengan 11,81 persen suara-di bawah perolehan suara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Golkar-mengulangi sejarah Demokrat. Di luar Partai Bulan Bintang, empat partai penyokong koalisi "gado-gado" Gerindra merupakan anggota koalisi pendukung Demokrat. Kekuatan koalisi Gerindra ini cukup meyakinkan, yakni hampir 49 persen-nyaris dua kali lipat syarat pencalonan presiden dan wakil presiden.

Kekuatan koalisi Gerindra itu agaknya dibangun dengan semangat merekrut partai mana saja yang bersedia ikut dalam biduk yang dikomandani Prabowo Subianto. Strategi tebar jala selebar-lebarnya ini didasari pertimbangan bahwa semakin banyak partai yang terlibat semakin besar peluang menang.

Strategi itu menunjukkan ideologi partai tak lagi penting. Lebih jauh lagi, ideologi kini tampaknya tak lebih dari sekadar make-up untuk memikat pemilih. Partai Amanat Nasional, yang mengaku pluralis, misalnya, bergabung dengan Gerindra dalam manifestonya mengagendakan pemurnian agama.

Bahkan, yang lebih serius, pendekatan merangkul sebanyak mungkin kawan itu dilakukan dengan melupakan rekam jejak masa lalu. Publik pun menyaksikan koalisi Gerindra juga menampung Partai Keadilan Sejahtera, yang mantan presidennya tersangkut korupsi dan tahun lalu dijatuhi hukuman 16 tahun penjara. Banyak yang yakin, kendati Suryadharma Ali pekan lalu ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai tersangka kasus korupsi haji, Gerindra tak akan mencoret Partai Persatuan Pembangunan, yang dipimpin Menteri Agama itu, dari daftar anggota koalisi.

Skema koalisi model Gerindra ini tentu saja membutuhkan perekat dan imbalan. Sejumlah partai sudah terdengar meminta jatah kementerian. Kesediaan Partai Golkar bergabung dengan Prabowo, umpamanya, pastilah terjadi setelah ketua umumnya, Aburizal Bakrie, dijanjikan posisi menteri utama dan sejumlah kursi menteri lain. Gerindra harus diakui pandai memanfaatkan Golkar yang posisinya terjepit. Sampai saat terakhir sebelum pendaftaran calon presiden ditutup, Aburizal Bakrie, yang dicalonkan partainya sebagai presiden-dan kemudian direlakan menjadi wakil presiden-belum berhasil merangkul partai lain untuk melengkapi syarat pencalonan.

Koalisi PDI Perjuangan juga tak terlepas dari sejumlah persoalan. Gabungan empat partai-PDI Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai NasDem, dan Partai Hati Nurani Rakyat-berkekuatan hampir 40 persen itu memang belum terdengar merancang bagi-bagi kursi menteri. Seandainya memenangi pemilihan presiden, niat calon presiden PDI Perjuangan, Joko Widodo, membentuk kabinet kerja hampir mustahil tercapai tanpa melibatkan partai koalisi. Di situ politik "dagang sapi" agaknya sulit dielakkan.

Bergabungnya tokoh-tokoh kelam masa lalu juga kurang menguntungkan koalisi PDI Perjuangan ini. Bila ingin membangun "Indonesia Baru", koalisi harus berani menjauhkan diri dari mereka yang tak bersih dan tokoh dengan riwayat pelanggaran hak asasi manusia yang tidak bisa dibilang ringan.

Dua barisan koalisi akan berhadapan pada pemilihan presiden 9 Juli nanti. Apa boleh buat, kecuali dengan Joko Widodo yang merupakan "pendatang baru", kita masih akan berjumpa dengan para mantan anggota oligarki masa lalu yang prestasinya jauh dari gilang-gemilang. Tak ada cara untuk memilih selain benar-benar teliti sebelum membeli.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus