Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KERIUHAN anti-LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) selama sebulan terakhir sudah harus ditanggapi serius. Perdebatan ini tak hanya berkembang menjadi tidak sehat dan absurd, tapi juga sudah melahirkan ujaran kebencian serta intimidasi verbal dan fisik.
Awalnya adalah poster komunitas Support Group and Resource Center on Sexuality Studies Universitas Indonesia. Komunitas ini, antara lain, menyediakan ruang konsultasi bagi remaja tentang seksualitas, kemudian berekor menjadi keributan di dunia maya, yang merasa kampus tak boleh dinodai kegiatan semacam itu. Perdebatan berkembang menjadi serius karena ada media formal yang mengakomodasi cacian terhadap LGBT.
Yang paling mengkhawatirkan adalah ucapan para pejabat, yang melarang LGBT masuk kampus"yang kemudian diralat"dan berbagai pemuka agama. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat sudah 17 pejabat negara, baik eksekutif maupun legislatif, yang mengeluarkan pernyataan diskriminatif terhadap kelompok LGBT. Beberapa organisasi kemasyarakatan bahkan sudah mengusulkan wacana anti-LGBT diwujudkan melalui undang-undang.
Melalui surat edaran, Komisi Penyiaran Indonesia dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia sudah "meminta" para pengelola stasiun televisi tidak menampilkan tujuh macam "gaya keperempuanan" pembawa atau pengisi acara. Inilah yang kemudian menjadi justifikasi bagi mereka yang anti-LGBT untuk mengecam, mendiskriminasi, bahkan mengancam. Sebuah pondok pesantren waria di Yogyakarta didatangi sekelompok orang yang mempertanyakan aktivitas mereka. Organisasi lain menyiarkan selebaran yang menyatakan kelompok LGBT layak "dibakar, dirajam, dan dijatuhkan dari tempat tinggi".
Karena itu, debat tentang apakah LGBT "penyakit" atau sesuatu yang normal, apakah bisa menular atau tidak, apakah LGBT terjadi sejak lahir atau produk konstruksi sosial, apakah LGBT berbahaya bagi anak-anak, dan apakah LGBT kelompok yang paling banyak terkena HIV/AIDS harus segera ditangani secara proporsional dan tepat oleh pemerintah dan para ahli.
Klaim bahwa LGBT sesuatu yang "tidak normal" tampaknya menjadi debat paling panjang dan rumit, meski Badan Kesehatan Dunia (WHO) sudah lama menghapus LGBT sebagai bagian dari gangguan kejiwaan. Semua fakta di atas tak kunjung cukup membuat (sebagian) pejabat pemerintah, anggota legislatif, pemuka agama, bahkan para "cendekiawan" mengeluarkan pernyataan yang jauh dari prasangka.
Ada perbedaan antara kebebasan berpendapat dan melontarkan ujaran kebencian yang pada ujungnya menyebabkan intimidasi dan serangan fisik. Karena itu, sebelum semua kecurigaan dan ketidaktahuan berubah menjadi ujaran kebencian yang meluas atau tindakan intimidasi dan diskriminatif yang parah, negara justru harus melindungi kaum LGBT sebagai bagian dari warga negara yang berhak hidup dengan aman seperti anggota masyarakat lain.
Kepolisian sudah menerbitkan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian, yang antara lain menyatakan ujaran kebencian adalah upaya menyulut kebencian terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas yang dibedakan dari berbagai aspek, termasuk orientasi seksual. Dengan edaran ini, seharusnya paling tidak polisi sudah harus bersiaga agar jangan sampai seseorang atau sekelompok masyarakat terancam hidupnya hanya karena perbedaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo