Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pagi cuma berumur sebentar pada 9 Maret nanti. Langit di sebelas provinsi kembali gelap-gulita ketika matahari baru terjaga. Tak perlu ada yang ditakutkan dari peristiwa gerhana matahari total itu. Larangan pemerintah agar masyarakat tak ke luar rumah untuk menghindari kebutaan massal seperti kejadian pada 1983 tak akan terulang. Cukup sekali saja kita mengalami peristiwa memalukan itu. Tahun ini justru kita rayakan.
Gerhana matahari total merupakan peristiwa langka. Seseorang hanya dapat dua kali menyaksikan gerhana matahari total selama hidupnya. Untuk bisa menikmati gerhana total berikutnya di wilayah yang sama atau berdekatan, kita harus menunggu 55 tahun. Penantian yang lama.
Pada 1983, pemerintah mengeluarkan instruksi pencegahan menatap gerhana, yang diikuti berbagai larangan ngawur di daerah. Di Jawa Timur dan Jawa Tengah, kacamata gerhana dari seluloid dimusnahkan. Buku panduan teknis melihat gerhana yang dilampiri alat observasi disita. Dua juta selebaran larangan disebarkan lewat pesawat. Polisi dikerahkan untuk menghalau penduduk yang ke luar rumah. Satu-satunya cara melihat gerhana hanya melalui siaran langsung TVRI.
Cerita menggelikan itu dibumbui pelbagai mitos yang berseliweran. Di Banyuwangi, Jawa Timur, ada ibu-ibu hamil yang bersembunyi di bawah dipan untuk melindungi janinnya dari serangan raksasa yang menelan matahari pada saat gerhana. Di pedalaman Kalimantan, suku Dayak membunyikan gong, lesung, dan panci untuk meredakan kemarahan makhluk gaib yang gentayangan.
Tak ada yang salah dengan tumbuhnya mitos-mitos gerhana itu. Kepercayaan yang sudah berusia ratusan atau bahkan ribuan tahun itu justru memperkaya khazanah kebudayaan kita. Masalahnya, pemerintah tak memanfaatkan rupa-rupa mitos dan ritual menyambut gerhana itu sebagai keunggulan yang bisa dijual untuk mendatangkan wisatawan. Pemerintah memilih menjalarkan ketakutan melalui larangan tak masuk akal.
Berbeda dengan 33 tahun lalu, saat ini pemerintah justru menjadikan momen 9 Maret sebagai magnet untuk mendatangkan wisatawan. Festival budaya digelar di Palembang, Bangka Belitung, Palangkaraya, hingga Ternate dan Halmahera. Tak akan sulit rasanya pemerintah mencapai target kunjungan 5 juta wisatawan domestik dan 100 ribu wisatawan asing. Hotel-hotel di Ternate saja sudah penuh terpesan sejak sebulan lalu.
Langkah lain yang sangat penting untuk menumbuhkan kultur cinta ilmu adalah menggerakkan anak-anak sekolah menonton gerhana. Komunitas-komunitas astronomi, didukung pemerintah kota dan kabupaten, mengajak anak sekolah membuat peralatan sederhana untuk menonton gerhana. Anak-anak itu juga bisa membuat riset sederhana mengamati perilaku hewan pada hari gerhana.
Peneliti mesti memanfaatkan kesempatan emas itu dengan membuat riset-riset unggulan. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, misalnya, menerjunkan beberapa tim. Salah satu pengamatan penting mereka adalah mencari bukti adanya efek gravitasi yang membelokkan lintasan cahaya sebagaimana disebut Albert Einstein dalam teori relativitas umum, seratus tahun lalu.
Berbagai festival, riset, dan edukasi siswa itu jelas merupakan cara yang lebih bermanfaat dan produktif dalam menyikapi datangnya gerhana. Sementara 33 tahun lalu pemerintah melarang masyarakat ke luar rumah, tahun ini pemerintah justru harus melarang masyarakat di dalam rumah pada saat pagi tiba-tiba seperti malam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo