Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Idiotainment

7 Agustus 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arswendo Atmowiloto

Alya Rohali tampak anggun dalam busana pengan-tin. Nada bicaranya santun, iramanya mengalun, ketika menghadapi keroyokan wartawan yang mewa-wancarainya di kursi pelaminan. Ini pernikahan Alya kedua, tanpa gema dan gempa gosip sebelumnya. Alya, sebagaimana Titiek Puspa dan Rima Melati, tak ayal lagi menjadi contoh bagaimana artis memanajemeni masalah pribadi dengan baik dan benar. Sedangkan artis, atau selebriti lain, tampak memprihatinkan karena kawin-cerai-kawin lagi, selingkuh disangkal lalu diakui, rebutan harta-cinta-anak, dan sejenis kabar sampah. Celakanya, kabar jenis itu termasuk sampah basah yang tak segera hilang terbakar waktu, malah menjadi limbah bermasalah.

Tayangan yang diwadahi dalam jenis infotainment ini yang membuat Pengurus Besar Nahdlatul Ulama merasa gusar dan mengajak masyarakat mengharamkan. Sebagai institusi kemasyarakatan yang besar dan berakar, NU patut mendapat acung-an dua jempol. Kepeduliannya le-bih menonjol, juga lebih cepat tanggap dalam mengembalikan kontrol sosial dari masyarakat. Perkembangan pertelevisian kita 15 tahun terakhir memang makin jauh dari tata nilai dan tata krama yang diharapkan, dan jenis infotainment salah satunya.

Yang lebih memedihkan tidak ha-nya selebriti yang ”sering selingkuh” atau ”cepat cerai”, tapi juga bumbu-bumbu yang berbau. Kalau seorang artis musik nikah lagi atau nikah diam-diam dengan teman istri-nya, itu urusannya. Tapi kalau berlanjut saling hujat dengan ayah kan-dung tentang siapa yang lebih sering kawin, dan siapa yang naksir siapa, pastilah bukan jenis info yang mencerdaskan bangsa. Kalau seorang artis se-lingkuh, itu urusannya. Tapi berbeda saat mengatakan hasil selingkuhan telah digugurkan, tanpa rasa bersalah melanggar hukum yang berlaku. Kalau seorang artis musik pacaran lagi setelah pacar lama mengalami koma dan meninggal, itu sebuah kehidupan yang dijalani. Tapi kalau menjawab kenapa secepat itu berencana menikah dengan jawaban ”Tanyakan kepada Tuhan, kenapa saya dipertemukan secepat ini dengan…”, jelas ini menganggap dan membuat penonton begitu idiot. Bahwa kemudian pacar kedua yang mau dinikahi ternyata putus lagi, makin memperjelas bahwa sia-sia membawa nama Tuhan.

Idiotisasi dari idiotainment menjadi-jadi karena dari sembilan stasiun siar nasional (TVRI dan Metro TV tidak), dalam sepekan ada 29 judul acara yang beritanya kurang-lebih sama, ada 134 tayangan berdurasi masing-masing 30 menit. Dalam seminggu ada 67 jam! Jumlah itu sama de-ngan separuh jam tayang sinetron atau 15 kali jam untuk hiburan anak-anak.

Dalam kondisi seperti ini alasan pengharaman terhadap infotainment mempunyai dasar kuat. Namun, se-sungguhnya, selalu ada jalan lain berdasarkan realitas empiris. Yaitu mengembalikan ke intinya sebagai berita, news, dan bukan info atau kabar angin. Contoh bodoh yang bikin -heboh adalah seorang wartawan mendatangi sumber berita seorang artis ternama dan langsung bertanya, ”Maaf, saya dengar Anda jadi wanita panggilan yang bisa di-booking. Apa komentar Anda?” (Jangan tertawa, ini benar-benar terjadi.)

Untuk sebuah berita, dasarnya adalah data, juga fakta. Sumbernya harus jelas dan bisa dipercaya. Persoalan perceraian, perselingkuhan, misalnya, sumbernya bisa melalui konferensi pers, kepolisian, pengadilan, atau institusi yang terkait—bukan sopir yang melihat majikannya turun di tengah jalan, bukan laporan pembantu yang mengatakan majikannya jarang seranjang, juga bukan info dari diri wartawan sendiri karena iri atau keki. Penyajiannya pun dengan narasi yang netral, bukan narasi seperti ”akhirnya diseret ke pengadilan sebagai pesakitan” atau ”hancurlah kebahagiaan yang selama ini dibina karena perselingkuhan yang kejam”. Tampilan visualnya juga normal, bukan visual adegan lain yang ditampilkan tanpa teks keterangan. Tayangan grafisnya juga harus manis, bukan dengan kamera seolah meliput saat gempa. Contoh sederhana yang menjadi istimewa karena komentar dan kelakar ada pada Go Show, acara yang dipandu oleh Tamara dan Edwin. Dan nyatanya cukup tinggi rating maupun sharing-nya. Artinya, tidak semua infotainment dan tidak semua pemirsa idiot.

Satu unsur lagi yang bisa mengubah idiotainment menjadi newstainment yaitu unsur harapan. Justru dalam berbagai bencana dan peristiwa, bisalah diisyaratkan ada-nya harapan sebagai kekuatan: ketika meliput artis yang masuk penjara, bisalah ditampilkan sang istri yang setia dan tegar, pun untuk kasus perceraian atau sejenisnya. Ada sisi di mana keterpihakan secara cerdas untuk se-suatu yang lebih bermakna.

Akhirnya, apakah bulu ketiak Alya Rohali lebih panjang sebelah kiri atau kanan, biarlah dia dan suaminya yang mengetahui. Tapi ketika Alya ikut makan sahur bersama kru dan esoknya tetap bisa syuting dan tetap berpuasa, itu mempunyai nilai berita. Juga makna.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus