Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peringatan dini itu datang dari Surabaya. Dosen bioki-mia dan biologi molekuler Universi-tas Airlangga, Chairul Anwar Nidom, meminta pemerintah meninjau rencana mengimpor 48 juta dosis vaksin avian influenza H5N2 dari Cina. Bahkan, bila perlu, rencana ini dibatalkan. Dia punya segepok alasan di balik wanti-wanti itu.
Vaksin unggas buatan pabrik Qilu, Cina, ini tidak cukup jitu. Efektivitasnya menangkal virus flu burung tak sampai 70 persen. Selain itu, pabrik Qilu sudah tutup dan pasti hal ini bakal merepotkan proses berikutnya. Kalaupun jadi diimpor, vaksin itu akan dibuat menggunakan mesin milik Yebio Bio Engineer Co. Ltd. di Qing Dao, Cina.
Lebih gawat lagi, vaksin impor ini dibuat dengan melemahkan antibodi penangkal H5N2. Padahal, virus yang beraksi menyerang unggas Indonesia adalah virus H5N1. Risikonya bisa gawat. Ada kemungkinan terjadi kebocoran inaktivasi atau kegagalan fungsi vaksin. Bukan mustahil akan muncul persoalan baru, yakni hadirnya virus H5N2 yang sebelumnya tak bercokol di Indonesia. Selain membahayakan unggas, virus itu bisa menjadi ancaman bagi manusia.
Nidom menekankan, yang terbaik untuk Indonesia tetaplah vaksin jenis H5N1 karena memang virus ini yang ada di lapangan. Sebagian peternak juga telah menggunakan produk vaksin H5N1 buatan lokal. Memang hasil di lapang-an belum kelewat memuaskan. Tapi, me-nurut Nidom, hal ini lebih disebabkan faktor non-vaksin. Misalnya vaksinatornya kurang oke, sikap masyarakat belum terbuka, dan sebagainya.
Toh, Departemen Pertanian, yang ber-tanggung jawab atas impor vaksin buat-an Qilu, tetap bergeming. ”Pemilihan vaksin H5N2 sesuai dengan rekomendasi Komisi Ahli Penanganan Flu Burung Departemen Pertanian,” kata Musny Suatmodjo, Direktur Kesehatan Hewan Departemen Pertanian.
I Wayan T. Wibawan, anggota komisi itu, menjelaskan syarat vaksin penangkal flu burung buat unggas. Vaksin itu mesti memiliki antigen H5 yang menentukan daya efektivitasnya. Vaksin ini juga harus bersifat low pathogenic atau berdaya patogenik rendah. Ini penting untuk berjaga-jaga. Jika ada kegagalan aktivasi, vaksin berdaya patogenik rendah tidak akan menimbulkan masalah kesehatan hewan yang serius.
Jadi, jelaslah bahwa vaksin H5N2 bukan satu-satunya alternatif yang diajukan Komisi Ahli Flu Burung. Alternatif terbaik tetaplah vaksin H5N1 yang berdaya patogenik rendah, apalagi non-patogenik. Persoalannya, vaksin H5N1 yang beredar masih berdaya patogenik tinggi sehingga belum dilirik.
Tapi, benarkah tak ada vaksin H5N1 yang aman? Tunggu dulu.
Sejatinya, telah ada vaksin H5N1 bermutu bagus buatan dalam negeri. Dia-lah vaksin Bird CLOSE 5.1, buatan Institut Pertanian Bogor (IPB) bekerja sama dengan Shigeta Animal Pharmaceutical, Jepang. ”Efektivitasnya menangkal virus flu burung di atas 99 persen,” kata Kamaluddin Zarkasie, salah satu direktur IPB-Shigeta.
Teknologi pembuatan vaksin van Bogor ini bahkan jauh mendahului kawan kerabatnya. Sang vaksin dibuat dengan teknologi reverse genetik yang pertama di dunia, sebuah teknologi yang memungkinkan penghilangan sama sekali sifat patogenik vaksin. Jadi, produk lokal ini tidak membahayakan kesehatan unggas.
Tapi, jika benar aman, kenapa vaksin van Bogor ini tidak dipakai? Inilah persoalan yang layak disoroti.
Uji laboratorium memang telah dilalui vaksin ini. Tapi, hingga saat ini vaksin Bird Close 5.1 belum bisa beredar luas lantaran belum melewati uji lapangan. Departemen Pertanian baru merilis izin uji lapangan dua pekan lalu.
Benar, ada lampu hijau yang menjanjikan. Departemen Pertanian mungkin akan memberikan perlakuan istimewa buat vaksin IPB-Shigeta.
Lazimnya, vaksin baru harus menjalani uji lapangan di Laboratorium Kesehatan Hewan Geelong, Australia-. Namun, Bird CLOSE 5.1 cukup di-uji di Balai Penelitian Mutu dan Sertifikasi Obat (BPMSO) Bogor. Alasannya, ”Produk ini sangat positif,” kata Musny Suatmodjo. Lagi pula, pada prakteknya, vaksin ini sudah dipakai, seperti halnya vaksin H5N2 dan H5N9 yang dipakai peternak sejak tahun 2003.
Akhir tahun nanti uji lapangan diperkirakan bakal tuntas. IPB-Shigeta pun sudah siap mengantisipasi dengan membangun pabrik di Kampus Darmaga, Bogor, yang mampu memproduksi 150 juta dosis vaksin per bulan.
Tahun depan, IPB-Shigeta telah menyatakan kesiapan mengikuti tender pengadaan vaksin flu burung. Namun, bagi IPB-Shigeta, gagal menggaet order di dalam negeri pun tak jadi soal. Pasar ekspor sudah menanti. Sejumlah negara seperti Inggris, Afrika Selatan, Vietnam, Nigeria, dan India sudah memesan ratusan juta unit vaksin.
Rupanya, keampuhan vaksin H5N1 van Bogor justru lebih diapresiasi dunia internasional.
Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo