SEPERTI apa sih perayaan tahun baru Imlek itu? Jalanan di Jakarta agak lengang. Wihara dan kelenteng dibanjiri warga Tionghoa; mereka bersembahyang dengan khusyuk. Pengemis berjubel di depan wihara; penghasilannya lumayan. Pusat perayaan Imlek di Taman Fatahillah, Jakarta, dimeriahkan tanjidor, gambang keromong, cokek, dan liong, dan dihadiri para duta besar. Di Semarang atau Solo, mungkin di kota lainnya lagi, kesenian barongsai justru didominasi orang Jawa, bukan keturunan Tionghoa saja. Sementara itu, Teater Koma pimpinan N. Riantiarno secara khusus kembali menggelar lakon Cina, Sampek Engtay, di Teater Tanah Airku, Taman Mini.
Ternyata tahun baru Imlek, seperti halnya Lebaran dan Natal, bukanlah suatu perayaan yang eksklusif. Getarnya juga dirasakan oleh mereka yang tidak merayakan hari raya itu. Lebih-lebih cerianya.
Sudah 33 tahun suasana seperti ini tak muncul di Nusantara. Selama tiga dasawarsa lebih itu, warga Tionghoa hanya bisa merayakan Imlek di lingkungan keluarga secara tertutup. Para konglomerat keturunan memang bisa merayakannya di Hong Kong atau Singapura, tapi warga Tionghoa tak semuanya konglomerat. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 diteken Presiden Soeharto pada 6 Desember 1967 di tengah-tengah jargon komunis harus diberantas sampai ke akar-akarnya. Cina identik dengan komunis. Karena itu, semua hal berbau Cina haruslah dilarang. Tulisan Cina dilarang. Nama-nama yang masih kecina-cinaan disarankan diganti dengan nama Melayu. Yang penting dari inpres itu, peribadatan yang mengacu kepada agama, kepercayaan, dan adat-istiadat Cina dilarang. Singkatnya, warga Tionghoa harus membaur dengan warga pribumi.
Selama rezim Orde Baru, kata pembauran selalu dikumandangkan. Yang terjadi kemudian adalah pembauran semu. Nama memang mudah diganti, walau sebagian yang lain menolak dan heran: kenapa harus diganti? Yang sulit, tentu, bagaimana mengganti sebuah keyakinan. Bagaimana mengganti sebuah adat, yang sudah begitu mentradisi?
Presiden Abdurrahman Wahid tampaknya cukup peka terhadap masalah ini. Kerukunan bangsa tak bisa dengan menindas sebuah keyakinan dan sebuah tradisi. Lewat Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000, Presiden mencabut Inpres No. 14/1967 itu. Warga Tionghoa yang beragama Konghucu menyambut keputusan itu dengan gembira, walau Konghucu mungkin masih belum bisa ''diterima" sebagai agama. Warga Tionghoa yang beragama lain, Buddha misalnya, tampaknya juga senang karena sebuah tradisi masih bisa diteruskan untuk memuja leluhur.
Barangkali warga negara non-Tionghoa pun merasa gembira. Ada kiriman dodol khas Cina, ada atraksi barongsai yang atraktif itu. Kegembiraan dan rasa syukur dibagi bersama. Bukankah ornamen-ornamen budaya Cina sudah lama membaur dalam budaya Indonesia? Gong Xi Fat Chai….
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini