Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

CGI, Utang, dan Hibah US$ 520 Juta

Tak ada pemotongan utang. Tapi, dari CGI, Indonesia mendapat hibah yang harus digunakan untuk memberantas korupsi.

6 Februari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK lama setelah sidang Consultative Group on Indonesia (CGI) ke-9 menjanjikan komitmen utang US$ 4,73 miliar pada Indonesia, seorang pengamat berkomentar, "Kalau saja korupsi bisa dibasmi, pemerintah tidak perlu susah payah mencari utang luar negeri." Siapa yang kena bidik dengan pernyataan itu? Seharusnya kita, bangsa Indonesia. Bukankah di situ tercakup sindiran bahwa utang luar negeri yang diniatkan sebagai penggerak pembangunan, dalam tiga dasawarsa, berubah menjadi sumber korupsi?

Siapa pun boleh tidak setuju, tapi jangan lupa Bank Dunia pernah mengakui 30 persen dari kucuran pinjamannya ke Indonesia ternyata bocor. Lalu, dalam pelaksanaannya di sini, bocor lagi 30-40 persen. Bocor itu berarti korupsi. Dan kebocoran itu bukan mustahil akan terjadi lagi kalau hukum tidak ditegakkan. Atau barangkali kita perlu manajemen utang yang sama sekali baru, dengan instansi khusus untuk itu yang berada dalam lingkungan Departemen Keuangan atau di bawah koordinasi Menteri Keuangan. Para ahli yang berkantor di Lapanganbanteng Timur pastilah lebih tahu tentang ini.

Kembali ke pernyataan pengamat tadi, di situ juga terselip isyarat bahwa kalau tidak ada korupsi, kita mampu membangun dengan kekuatan sendiri. Maksudnya, tentu, membangun tidak dengan utang dan mengandalkan hasil keringat bangsa lain. Namun, kebiasaan berutang Orde Baru membuat bangsa ini tidak menumbuhkan kemampuan dirinya dan sumber daya alam yang ada di wilayahnya. Lebih dari itu, Orde Baru terlalu pandang enteng dalam hal pengembaliannya. Soeharto sendiri lebih dari satu kali menegaskan bahwa dengan menjual BUMN, kita dapat melunasi utang. Padahal, ia bukan tidak menyadari bahwa sebagian besar BUMN itu keropos dan pasti tak laku dijual, konon pula membayar utang.

Kini, dengan beban utang pemerintah dan swasta sebesar US$ 160 miliar, dan debt service ratio (DSR) melonjak sampai 93,4 persen, Presiden Abdurrahman Wahid berbicara tentang India, yang membangun dengan lebih mengandalkan kekuatan sendiri, tanpa banyak meminjam keluar. Suka atau tak suka, kita perlu berintrospeksi lagi seraya melirik India yang tidak memacu pertumbuhan karena hal itu memang terlalu sulit bagi negara berpenduduk hampir 1 miliar jiwa. Tapi bahwa sekitar 120 juta dari bangsa itu terdiri atas kelas menengah dengan pendapatan per kapita sekitar 10 kali lipat pendapatan per kapita penduduk miskin Indonesia, nah, ini harus dilihat sebagai sukses ekonomi juga.

Becermin pada kenyataan itu, mungkin perlu dipikirkan bagaimana mempertajam kepekaan bangsa kita akan beban utang yang akan terus mengimpit sampai 10 tahun ke depan. Mungkin kita perlu mencontoh Amerika Serikat yang pernah memasang billboard besar tinggi cuma untuk menyorotkan angka-angka. Dan angka-angka itu terus berubah sesuai dengan beban cicilan utang yang terus bertambah. Billboard itu agaknya bisa tampak mengerikan, tapi bisa juga mengusik hati nurani dan tiap kali mengingatkan kita pada beban utang yang sedemikian besar. Siapa tahu billboard semacam itu bisa sangat efektif dalam upaya mengerem kebutuhan akan utang dan juga meningkatkan tekad memberantas korupsi.

Yang pasti, yang ada sekarang adalah "manuver" negara donor yang bergabung dalam CGI itu. Mereka menghibahkan US$ 520 juta khusus untuk program pemberantasan korupsi di negeri ini. Selain baru pertama kali terjadi, hibah semacam itu tak bisa tidak merupakan peringatan sangat keras agar Indonesia tidak lagi bergaya "leha-leha" dalam menghajar para pelaku korupsi. Andai kata kelak kita terbukti tidak mampu, kebolehan bangsa ini dalam memperbaiki diri dan mengubah nasibnya sudah bisa dipastikan rendah sekali. Dengan hibah itu, CGI juga seakan mengajukan opsi: hukumlah para koruptor; kalau tidak, hukuman itu akan berbalik menghajar bangsamu sendiri, kaum kerabatmu, anak-cucumu….

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus