Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEREKA yang dikirim ke neraka medan perang masih bisa kembali. Tapi bagi remaja bekas pecandu narkotik dan obat-obat terlarang (narkoba), pintu sekolah tertutup sudah. Penolakan semacam ini cukup mengkhawatirkan banyak orang tua di Jakarta. Namun, belum ada terobosan yang memungkinkan mereka kembali belajar seperti biasa. Apalagi, kini kampanye antinarkoba bergelora dari sudut Jakarta yang satu ke sudut yang lain. Maka, penolakan seperti itu tampaknya bukanlah hal yang tabu.
Argan, bukan nama sebenarnya, adalah satu dari sejumlah korban yang ditolak itu. Alkisah, ia kedapatan mengantuk di kelas, lalu mengaku bahwa ia sedang menjalani terapi penyembuhan dari ketergantungan obat dan alkohol. Pengakuan ini serta-merta ''melemparkan" remaja enam belas tahun itu keluar dari sekolahnya. Rupanya pihak sekolah khawatir, jangan-jangan kebiasaan ngeboat yang diidap Argan bisa menular ke siswa lain. Kebetulan nasibnya baik karena lewat ''jalan belakang", ia berhasil dimasukkan ke sekolah lain.
Tapi Roni juga bukan nama sebenarnya tak seberuntung Argan. Sejak dikeluarkan dari sekolahnya setahun lalukarena menyedot putauw di sekolahtak satu pun sekolah di Jakarta yang mau menerimanya. Padahal, dia sudah dinyatakan lulus dari perawatan selama sembilan bulan. Satu-satunya alasan pihak sekolah ialah ada kekhawatiran Roni akan menularkan kebiasaan buruknya kepada siswa-siswa lain yang sehat.
Apakah alasan itu masuk akal? Psikiater Dadang Hawari meragukannya. Sebab, pada penderita yang sudah dinyatakan sembuh, peluang untuk kumat hanya 12 persen. Itu pun jika mereka bergaul kembali, stres lagi, atau kangen. Nah, kalau mereka ditolak sekolah, tentu mereka tertekan, lalu akhirnya kembali lagi ke komunitas pemadat, yang siap menerimanya.
Wajarlah bila Dadang mengecam sikap pendidik yang tidak mendidik itu. ''Sebaiknya mereka (mantan pecandu yang ditolak sekolah) kumpul saja, lalu ngadu ke kanwil atau ke Gus Dur sekalian," katanya. Dadang tak berlebihan. Roni dan Argan hanyalah dua dari ribuan pelajar yang pernah terjerumus ke lembah pemakaian obat-obat terlarang. Di rumah sakit ketergantungan obat (RSKO) saja, setiap hari masuk 40 sampai 50 pasien, yang sebagian besar adalah mahasiswa dan pelajar SMU. Dan di Jakarta ada 10 rumah sakit dan belasan wisma lain yang juga menerima perawatan pecandu narkoba.
Masalahnya adalah, jika dipecat dari sekolah, bagaimana nasib mereka? Departemen Pendidikan ternyata tak bisa menolong. Soalnya, departemen tak bisa memaksa sekolah untuk menerima para mantan pecandu ini. ''Selama tak ada aturannya, kepala sekolah punya otonomi untuk mengatur disiplin sekolahnya," kata Umaedi, direktur pendidikan menengah umum.
Tapi, bagaimana sekolah-sekolah itu bisa kompak menolak mantan pecandu? Umaedi menduga, mungkin pada saat para kepala sekolah bersilaturahmi, mereka juga saling berbagi informasi. Lalu, jika ada anak yang mencoba pindah sekolah, sekolah yang akan menampungnya akan bertelepon dengan kepala sekolah asal. Tentu akan ditanya kenapa anak tersebut pindah. Nah, kalau si anak punya catatan dan pernah menjadi pecandu, tertutuplah kesempatannya untuk meneruskan sekolah.
Secara resmi, Kanwil Pendidikan Nasional DKI Jakarta mengakui lebih dari seribu siswa kedapatan terlibat obat-obat terlarang. Dari jumlah itu, sekolah telah memecat 315 siswa, sementara sekitar 800 siswa lain boleh melanjutkan sekolahnya dengan rekomendasi dari tempat perawatannya. Itu pun hanya terjadi pada sekolah-sekolah tertentu.
D. Herijanto, Wakil Kepala SMU 30, mengakui bahwa sekolahnya pernah menerima siswa bekas pecandu dari sekolah lain. Namun, sebelum masuk, si anak dan orang tuanya harus menandatangani surat perjanjian di atas meterai. Isinya, jika si anak kedapatan memakai narkotik lagi, ia akan langsung dikeluarkan. Mungkin anak ini memang sial karena ketika ujian akhir, dia kepergok sedang nyuntik. Tak ampun lagi, anak itu langsung diminta mengundurkan diri (baca: dikeluarkan). ''Kita berharap citra sekolah terjaga," kata Herijanto.
Lalu, ke mana para mantan pecandu bersekolah? Mereka dianjurkan mencari pendidikan alternatif. Atau, ikut kursus. Konsekuensinya: tertutup peluang untuk masuk perguruan tinggi. Mengantisipasi hal itu, Kakanwil Alwi Nurdin berencana membentuk pusat rehabilitasi terpadu. Lembaga ini kelak berfungsi menampung anak yang sedang menjalani rehabilitasi sehingga mereka tetap mendapat pendidikan seperti anak-anak yang lain. Lalu, setelah sembuh, mereka dikembalikan ke sekolahnya. Namun, niat baik ini masih menunggu realisasi yang tak pula jelas siapa pemrakarsanya dan dari mana dananya.
Agung Rulianto, Ardi Bramantyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo