Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Potret Buruk Toleransi di Indonesia

Pelarangan ibadah di Tangerang Selatan menunjukkan potret buruk toleransi di Tanah Air. Negara jangan hanya diam.

10 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMBUBARAN ibadah mahasiswa Universitas Pamulang di Tangerang Selatan, Banten, kian menunjukkan potret buruk toleransi di negeri ini. Negara abai melindungi kebebasan beragama dan beribadah warga negaranya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ahad malam, 5 Mei 2024, sekelompok warga di Kampung Poncol, Kelurahan Babakan, Kecamatan Setu, Tangerang Selatan, membubarkan ibadah Doa Rosario belasan mahasiswa Katolik Universitas Pamulang. Pembubaran tersebut berujung pada penyerangan dan penganiayaan terhadap para mahasiswa. Bahkan, seorang mahasiswi terluka akibat sabetan senjata tajam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pembubaran ibadah mahasiswa Universitas Pamulang itu menambah panjang daftar kasus intoleransi tahun ini. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat, pada triwulan I 2024, ada delapan kasus intoleransi di Tanah Air. Sebelum kasus di Tangerang Selatan, pada Maret lalu terjadi pelarangan ibadah di Kampung Kepo Kepuh, Balaraja, Kabupaten Tangerang. Warga setempat memprotes jemaat Gereja Baptis Indonesia Alkitabiah (GBIA) yang beribadat di rumah doa di Balaraja.

Maraknya kasus intoleransi menunjukkan negara belum bisa menjamin kebebasan beragama dan beribadah warganya yang dilindungi konstitusi. Pelarangan terhadap sejumlah mahasiswa Universitas Pamulang yang beribadah di ruang privat merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan hak atas kemerdekaan beragama.

Berulangnya kasus intoleransi di Tanah Air tidak bisa dianggap remeh. Letupan-letupan kecil berisiko memicu konflik yang meluas. Karena itu, negara harus hadir melindungi warganya untuk beragama dan beribadah.

Celakanya, dalam beberapa insiden, perangkat-perangkat yang menjadi kepanjangan tangan pemerintah seperti RT justru menjadi pelaku persekusi. Contohnya ada di pembubaran ibadah mahasiswa Universitas Pamulang itu. Ketua RT setempat diduga mengipasi emosi warga dengan berteriak, mengumpat, dan mengintimidasi korban.

Upaya pemerintah setempat untuk menyelesaikan masalah tersebut juga diragukan efektivitasnya. Sehari setelah kejadian, sejumlah pihak, seperti RT, RW, camat, kepolisian, hingga Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), bertemu untuk membahas pembubaran ibadah tersebut di Kantor Lurah Babakan. Ironisnya, para mahasiswa Universitas Pamulang tidak diikutsertakan dalam pertemuan tersebut. Padahal mereka merupakan korban yang suaranya perlu didengar. Tanpa keikutsertaan para korban, solusi yang ditawarkan sulit diharapkan bisa menyelesaikan masalah.

Dalam kasus penggerudukan ibadah mahasiswa Universitas Pamulang itu, Kepolisian Resor Kota Tangerang Selatan telah menetapkan empat tersangka. Penindakan tegas terhadap para pelaku diperlukan untuk menunjukkan bahwa kelompok intoleran tidak mendapat tempat di Tanah Air. Selain menggalakkan dialog antarumat beragama, penegakan hukum menjadi salah satu cara untuk memutus siklus intoleransi.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus