Dalam tulisannya, Moeslim Abdurrahman tampak sangat cerdas dalam menganalisa proses Islamisasi secara sosiologis (TEMPO, 13 November, Kolom). Munculnya islamisasi di Indonesia tidak hanya bersifat politik, tapi kultural. Di samping itu, proses Islamisasi tidak bisa hanya dilihat dari segi perspektif organisasi, seperti munculnya ICMI, tapi yang lebih penting adalah perubahan tingkah laku orang biasa. Saya melihat dua gejala yang sama pentingnya untuk dikaji tentang Islamisasi di Indonesia. Pertama, kesadaran diri menjadi santri di kalangan individu makin meningkat. Islam tidak lagi dimiliki oleh kaum kelas pinggiran yang secara tradisional memeluknya. Tapi Islam dimiliki oleh golongan sosial menengah ke atas. Contoh riil adalah kepedulian orang- orang atas untuk mendengar ceramah-ceramah Islam. Pertemuan- pertemuan yang bersifat sosial, misalnya arisan, selalu diselingi ceramah agama. Lebih dari itu majalah yang berbau Islam menjadi bacaan sehari-hari oleh sebagian besar kaum atas. Kaum akademis yang mengatasnamakan dirinya Islam, apakah mereka memiliki background mengaji Islam yang cukup, giat mencari dan mempertanyakan keadaan keislamannya? Itu tak hanya terjadi di Tanah Air, juga di negara-negara lain, tempat orang Indonesia berkumpul. Di Australia, misalnya, pusat-pusat pengajian muncul di tempat sejumlah pelajar dan mahasiswa Indonesia berkumpul. Pengajian itu bersifat penebalan keimanan dan kajian Islam yang futuristik. Dari sini tampak betapa tinggi kepedulian mereka terhadap Islam dan Islam menjadi wajah keseharian golongan baru ini. Maka, patut beralasan bahwa Islam memang agama bagi seluruh golongan, bukan agama orang tertentu. Islam menjadi milik individu tempat mereka berada. Kedua, munculnya organisasi Islam juga merupakan bukti Islamisasi secara kolektif. Di samping untuk formalisasi dan pengakuan dari masyarakat, organisasi Islam muncul sebagai alat bagi individu muslim untuk mengekspresikan nilai-nilai keislamannya. Memang munculnya organisasi tidak lepas dari unsur politik. Tapi lewat organisasi seorang muslim mampu menunjukkan kekuatannya ketimbang secara individu. Banyak tokoh muslim di dunia dipromosikan oleh organisasinya. HMI, misalnya, memunculkan banyak tokoh muslim kaliber internasional, salah satunya Nurcholish Madjid. Karena itu, organisasi Islam tidak bisa hanya dilihat dari segi politiknya. Tapi yang lebih penting adalah menunjukkan bahwa Islam itu ada secara kolektif, dan dalam Islamisasi organisasi sangat dibutuhkan. Pepatah Arab mengatakan: Al Quwwatu bil ittihad, kekuatan itu muncul karena organisasi. ICMI bisa memegang peran penting dalam proses Islamisasi, dan ini memang salah satu misinya. Lebih dari itu, kalau kabinet kita sekarang ini diwarnai oleh orang-orang muslim, itu merupakan Islamisasi yang riil secara kolektif dan struktural. Dengan demikian, ada dua gejala untuk melihat Islamisasi yang riil di Indonesia: secara individu dan kolektif.NUR KHOLISMahasiswa Pascasarjana The University of New South Wales Australia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini