Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Purbaya Yudhi Sadewa*
Defisit transaksi berjalan menimbulkan kekhawatiran terhadap kesinambungan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Bank sentral mencoba mengatasinya dengan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Apakah ini langkah yang tepat?
Kita perlu bersyukur bahwa, di tengah lesunya perekonomian dunia, ekonomi Indonesia dapat tumbuh dengan cukup baik. Pada 2012, ekonomi kita tumbuh 6,2 persen, dan pada 2013 diperkirakan tumbuh 5,9 persen. Walaupun demikian, ada masalah yang membuat otoritas moneter dan fiskal pusing tujuh keliling, yaitu masalah defisit transaksi berjalan.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kuat membuat permintaan akan produk, termasuk produk impor, meningkat dengan signifikan. Sementara itu, ekspor cenderung lesu karena permintaan di pasar dunia yang rendah seiring dengan lemahnya pertumbuhan ekonomi global. Akibatnya, neraca perdagangan barang cenderung tertekan. Keadaan ini membuat neraca transaksi berjalan (jumlah neraca perdagangan barang dan jasa) mengalami defisit yang cukup signifikan.
Defisit ini berarti Indonesia lebih banyak mengimpor barang dan jasa dibandingkan dengan mengekspornya. Artinya, jumlah valuta asing yang dibutuhkan untuk mengimpor barang lebih besar daripada valuta asing yang dihasilkan dari ekspor. Timbullah ekspektasi rupiah akan tertekan, yang akan mengganggu stabilitas perekonomian secara keseluruhan.
Bank Indonesia sudah melakukan berbagai inisiatif untuk mengendalikan defisit tersebut. Antara lain, dengan membiarkan rupiah melemah, terutama sejak pertengahan 2012. Pelemahan rupiah akan membuat harga produk impor menjadi mahal, sehingga impor berkurang. Sedangkan harga produk ekspor menjadi lebih murah (dalam dolar), sehingga daya saing ekspor meningkat. Pelemahan rupiah diharapkan akan memperbaiki neraca transaksi berjalan.
Langkah lain untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan adalah memperlambat pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat diharapkan akan menurunkan impor. BI memperlambat pertumbuhan ekonomi dengan mengetatkan kebijakan moneter. Hal ini, antara lain, terlihat dari dinaikkannya BI Rate dalam beberapa bulan terakhir. Padahal, walaupun inflasi saat ini relatif tinggi, faktor pemicu utamanya adalah kenaikan harga bahan bakar minyak pada Juni lalu. Kebijakan moneter sebenarnya kurang efektif dalam mengendalikan inflasi yang berasal dari sisi pasokan seperti ini.
BI Rate pada level 7,25 persen masih relatif rendah. Namun kebijakan moneter yang dijalankan sebenarnya lebih ketat daripada yang diisyaratkan oleh tingkat bunga tersebut. Hal ini terlihat dari laju pertumbuhan M0 yang sudah jatuh ke sekitar 12 persen dalam periode Januari-September 2013. Padahal pertumbuhan ekonomi di kisaran 6 persen biasanya memerlukan pertumbuhan suplai uang M0 sekitar 23 persen.
Pemerintah tampaknya mulai mengikuti pandangan bank sentral. Kementerian Keuangan berpandangan bahwa saat ini kita harus menerima laju pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah. Akibatnya, upaya-upaya untuk meningkatkan penyerapan anggaran tampak tidak seserius sebelumnya. Bahkan tampak ada upaya memperbesar jumlah anggaran yang tidak diserap. Artinya, dorongan dari sisi fiskal terhadap perekonomian tidak sebesar yang seharusnya.
Dengan kebijakan seperti di atas, tidaklah terlalu mengherankan bila ekonomi kita betul-betul mengalami perlambatan. Pada triwulan kedua 2013, laju pertumbuhan ekonomi kita sudah turun menjadi 5,8 persen, dan sebagian kalangan memperkirakan akan lebih lambat lagi pada triwulan-triwulan mendatang.
Apakah kita memang harus mengorbankan pertumbuhan ekonomi untuk menyelamatkan transaksi berjalan?
Banyak pihak mengatakan Indonesia tidak pernah mengalami defisit transaksi berjalan. Namun, bila dicermati lebih dalam, sebenarnya defisit transaksi berjalan bukanlah hal baru bagi perekonomian Indonesia. Dari 1981 hingga 1997, kita terus-menerus mengalami defisit transaksi berjalan. Pada periode tersebut ekonomi mengalami pertumbuhan rata-rata mendekati 7 persen. Karena pertumbuhan yang cepat tersebut kita sempat dimasukkan ke kelompok negara yang dijuluki macan Asia.
Indonesia baru mengalami surplus transaksi berjalan pada 1998, tatkala ekonomi mengalami keterpurukan yang amat dalam dan pertumbuhan negatif 13,1 persen. Apa yang sebenarnya terjadi?
Kita sering melupakan pasangan dari transaksi berjalan, yaitu transaksi modal dan finansial (selanjutnya disingkat transaksi modal). Akibatnya, kita menerjemahkan perkembangan perekonomian secara salah. Transaksi modal menggambarkan jumlah arus modal yang masuk ke suatu negara. Transaksi berjalan dan transaksi modal bergerak berlawanan. Bila transaksi berjalan kita surplus, transaksi modal kita akan defisit, dan sebaliknya. Penjelasan sederhananya adalah bila ekspor suatu negara lebih besar dibandingkan dengan impornya, negara tersebut mempunyai dana lebih dan akan mengakuisisi aset-aset dari negara lain dengan jumlah yang sama besarnya (modal keluar sehingga transaksi modal defisit). Sebaliknya, bila suatu negara mengalami transaksi berjalan defisit, negara tersebut memerlukan dana dari luar untuk membiayai defisit tersebut (modal masuk sehingga transaksi modal surplus, impor barang modal ataupun bahan baku meningkat). Ini adalah prinsip dasar dari konsep neraca pembayaran dalam ilmu ekonomi.
Pada periode 1981-1997, ekonomi kita banyak menarik modal dari luar negeri untuk membiayai ekspansi perekonomian. Jadi, neraca transaksi modal akan cenderung surplus. Hal ini menjelaskan mengapa dalam periode tersebut kita mengalami defisit transaksi berjalan. Pada 1998, karena krisis Asia kala itu, para pemilik modal berhenti melakukan investasi di Indonesia, yang membuat transaksi modal defisit. Akibatnya, kita mengalami surplus transaksi berjalan.
Setelah krisis, kita berusaha keras mengundang investor asing untuk menanamkan modal di negara kita. Pada awal 2000-an, upaya ini relatif kurang berhasil. Aliran modal masuk pun seret, sehingga kita mengalami surplus transaksi berjalan. Baru tiga tahun terakhir ini (terutama setelah memperoleh investment grade dari Moody's dan Fitch) Indonesia mulai masuk ke radar investor dunia. Hasilnya, kita mengalami peningkatan arus modal asing yang signifikan. Transaksi modal kita mengalami surplus yang signifikan. Konsekuensinya, kita mengalami defisit transaksi berjalan.
Jadi, defisit transaksi berjalan yang kita alami bukanlah pertanda buruk. Ini terjadi sebagai konsekuensi keberhasilan kita mengundang kembali modal asing, yang memang diperlukan bila ingin tumbuh lebih cepat. Selama ekonomi tumbuh dengan cepat dan investor asing masih tertarik melakukan investasi dalam jumlah besar ke Indonesia, tampaknya kita masih akan mengalami defisit transaksi berjalan.
Dengan kata lain, respons kebijakan untuk membuat neraca transaksi berjalan kembali surplus dalam waktu singkat adalah langkah yang kurang tepat. Apalagi bila hal tersebut dilakukan dengan mengorbankan pertumbuhan ekonomi. Ingat, kita pernah mengalami hal tersebut pada 1998, ketika defisit neraca transaksi berjalan kita menjadi surplus dalam waktu singkat. Kita harus membayarnya dengan krisis ekonomi yang amat parah.
Diskusi di atas menunjukkan bahwa kita tidak perlu panik dengan defisit transaksi berjalan yang terjadi saat ini. Pertumbuhan ekonomi tidak perlu diperlambat. Bila kita ingin mengurangi defisit transaksi berjalan, sebaiknya hal tersebut dilakukan secara terencana dengan baik. Kita harus mengubah struktur industri agar dapat menghasilkan produk yang saat ini terlalu banyak kita impor, termasuk barang modal dan bahan baku. Selain itu, kita harus meningkatkan efisiensi sektor finansial kita agar tidak terlalu bergantung pada modal asing untuk membiayai ekspansi perekonomian.
*) Ekonom Danareksa Research Institute
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo