Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Sepekan Khalifatul Masih di Singapura

Berlindung pada hukum, Mirza Masroor Ahmad melarang warga Ahmadiyah membalas penganiayaan.

28 Oktober 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masjid Taha di Onan Road, Singapura, tiba-tiba menyedot perhatian ribuan orang. Seorang lelaki berusia 63 tahun menjadi titik pusat daya tarik yang luar biasa itu. Dia Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih Kelima Komunitas Muslim Ahmadiyah.

Masroor Ahmad memang sangat sibuk selama kunjungan sepekan di Singapura pada akhir September lalu itu. Hari-hari pria yang selalu mengenakan pakaian panjang selutut dan turban di kepala ini tak hanya diwarnai rapat, tapi juga pertemuan dengan ahmadi—sebutan untuk pengikut Ahmadiyah, kelompok yang mengakui pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad, sebagai mujaddid (pembaru), Al-Masih, dan Al-Mahdi.

Padahal, pada akhir pekan tersebut, lebih dari 3.000 ahmadi berkumpul di negeri itu—2.500 lebih datang dari berbagai kota di Indonesia, sisanya dari beberapa negara lain, seperti Malaysia, Thailand, Myanmar, dan Bangladesh. Dan, dalam sekejap, hotel-hotel di kawasan sekitar masjid yang didirikan warga Ahmadiyah ini pun penuh dengan ahmadi.

"Ini bentuk kecintaan kami," kata Siti Lilies Aisyah Kamil, 48 tahun, Ketua Wanita Ahmadiyah Indonesia. "Beliau adalah pemimpin rohani kami." Menurut Siti Aisyah, bagi ahmadi, ada dua pemimpin: pemimpin dunia, yakni pemerintah, dan pemimpin rohani, yakni sang khalifah.

Di Singapura, pemimpin spiritual ini menerima satu per satu keluarga ahmadi. Diawali obrolan ringan, tanya-jawab tentang keluarga atau sekolah anak-anak, diakhiri dengan doa khusus dari sang pemimpin. "Seperti pertemuan bapak-anak," kata Hamidah Razzak, salah seorang ahmadi.

Masroor Ahmad terpilih menjadi Khalifatul Masih Kelima pada 22 April 2003 malam dalam sebuah rapat di London setelah khalifah keempat, Mirza Tahir Ahmad, wafat. Namun "karier" cicit Ghulam Ahmad ini di Ahmadiyah sebenarnya sudah sangat panjang. Selepas kuliah, master di bidang ekonomi pertanian ini ditugasi ke Ghana selama delapan tahun. Di sana ia membangun sekolah dan rumah sakit serta membantu pengembangan pertanian, hingga akhirnya petani setempat bisa panen gandum untuk pertama kalinya. Di negeri yang terletak di Afrika Barat itu, Ahmadiyah cukup berkembang, dengan keanggotaan mencapai sekitar 100 ribu orang.

Kembali ke Pakistan pada 1985, Masroor Ahmad langsung aktif dalam kepengurusan, menjadi pemimpin eksekutif hingga akhirnya terpilih menjadi khalifah.

Setelah diputuskan menjadi pemimpin spiritual warga Ahmadiyah, Masroor Ahmad langsung menetap di London dan belum pernah pulang ke kampung halamannya sampai sekarang. "Itu berarti akan memisahkan khalifah dengan umat," kata Masroor memberi alasan. Selain itu, ancaman penahanan akan selalu mengintai.

Pakistan memang bukan negara yang ramah terhadap ahmadi. "Jauh lebih buruk daripada kondisi di Indonesia," kata pencinta fotografi ini.Warga Ahmadiyah memang mendapat banyak "penganiayaan" di berbagai negara.

Di Pakistan, Masroor mengisahkan, ahmadi tidak boleh mengakumuslim, juga tidak diperkenankan menjalankan ibadah Islam.Bahkan, "Mengucapkan salam saja bisa dipenjara tiga tahun," katanya. Itu berlaku mulai 1984, saat Presiden Zia-ul-Haq mengeluarkan perundangan anti-Ahmadiyah. Semenjak itu, setiap khalifah Ahmadiyah menetap di London, termasuk Masroor Ahmad.

Dia sendiri pernah ditahan pada 1999 dengan tuduhan mempromosikan kegiatan keislaman. "Setelah berbagai upaya diplomatik, akhirnya ia dibebaskan," kata Abid Khan, petugas urusan media Komunitas Muslim Ahmadiyah.

Dari London, bapak dua anak ini memimpin warga Ahmadiyah, yang jumlahnya mencapai sekitar 10 juta yang tersebar di ratusan negara. Terkadang ia me­nengok dan memberikan dukungan kepada ahmadi­ yang mendapat penganiayaan, seperti saat di Singapura itu. "Tunjukkan kesabaran," katanya saat khotbah Jumat, akhir September itu. Bahkan ia pun melarang ahmadi membalas. "Kami berlindung ke hukum."

Selain itu, ia rajin menemui masyarakat non-Ahmadiyah, berbicara tentang Islam damai, seperti saat di Singapura itu.

Purwani Diyah Prabandari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus