Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Politik, menurut Bung Karno, terdiri dari sekurang-kurangnya dua perkara. Yang satu adalah perebutan dan pembentukan kekuasaan (machtsvorming), yang lainnya pemanfaatan dan penggunaan kekuasaan secara efektif (machtsaanwending). Teori ini tidak sulit dipahami. Urusan-urusan publikseperti halnya perbaikan nasib buruh perempuan dan pekerja anak-anak, pembagian pendapatan nasional yang lebih adil dan merata, pencegahan depresiasi hutan dan dihentikannya kerusakan lingkungan hidup, atau penguatan pasar domestikhanya dapat dilakukan kalau seseorang atau sekelompok orang mempunyai kekuasaan efektif untuk mewujudkannya. Tanpa kekuasaan, semua niat baik itu hanya tinggal gagasan atau usul belaka. Karena itulah mereka yang ingin merealisasinya pertama-tama akan berjuang sekuat tenaga mendapatkan kekuasaan efektif, yang menjadi instrumen untuk menerjemahkan gagasan menjadi kenyataan.
Dalam sejarah politik RI, dua proyek politik ini sudah sejak awal menimbulkan perbedaan paham di antara para pendiri Republik. Hatta dan Sjahrir rupa-rupanya sangat menekankan pentingnya penggunaan kekuasaan, yang dilatih dalam pendidikan nasional, baik untuk menyiapkan kader-kader politisi yang langsung menjalankan kekuasaan maupun untuk mendapat kader-kader administrasi pemerintahan yang akan memutar mesin birokrasi. Pilihan ini dilandasi pertimbangan bahwa, tanpa keterampilan dan disiplin dalam menggunakan kekuasaan, kekuasaan itu hanya akan menjadi faktor berisiko tinggi. Ibaratnya, obat-obatan dengan kadar racun yang besar hanya bermanfaat di tangan seorang dokter yang cakap, tetapi menjadi malapetaka di tangan anak-anak TK.
Di lain pihak, Sukarno berkeyakinan bahwa kekuasaan harus ada terlebih dahulu, barulah kita dapat belajar memanfaatkannya secara efektif. Selama kekuasaan itu masih tergenggam di tangan tuan-tuan penjajah, rakyat Indonesia hanya dapat mematuhinya atau menentangnya, tetapi tidak akan sempat menggunakannya sendiri dengan cara yang tepat dan berguna. Karena itu, kekuasaan harus direbut terlebih dahulu, barulah setelah itu kita perlahan-lahan belajar memanfaatkannya. Mobilisasi massa rakyat adalah langkah pertama yang menentukan apakah pendidikan nasional mungkin terlaksana atau mustahil diwujudkan.
Betapapun berbedanya dua paham tersebut, tampaknya ada satu pengandaian yang disepakati kedua belah pihak, yakni asumsi bahwa kekuasaan mengandung daya untuk mengubah keadaan dan menciptakan suatu keadaan baru, tetapi sekaligus juga berpotensi merusak dan menghancurkan. Energi kekuasaan selalu berada dalam ambivalensi antara menjadi formatif dan konstitutif atau distortif dan destruktif. Seterusnya, akibat yang timbul dari kekuasaan itu sangat bergantung pada para agen yang melaksanakannya. Sukarno berpendapat bahwa selama kekuasaan berada di tangan tuan-tuan kolonialis, kekuasaan itu tidak akan bermanfaat apa pun untuk pembangunan Indonesia. Perjuangan harus diarahkan pertama-tama kepada "pemindahan kekuasaan" sebagaimana dinyatakan dalam teks proklamasi kemerdekaan. Sebaliknya, Hatta dan Sjahrir berpendapat bahwa orang-orang Indonesia yang tak mempunyai keterampilan dan disiplin dalam menggunakan kekuasaan akan lebih merugikan daripada menolong keadaan, lebih menjadi liabilities daripada assets nasional, bagaikan bujang baru berkeris.
Yang tidak cukup diperhatikan dalam dua pandangan tersebut adalah kenyataan bahwa kekuasaan mempunyai watak dan kecenderungannya sendiri, yang tidak selalu bergantung pada kemauan para agennya. Lebih dari itu, kekuasaan malah dapat mengubah pandangan dan sikap para agen itu sendiri. Maka, memindahkan kekuasaan dari tangan kolonial ke tangan Republik, atau mengalihkannya dari Orde Baru ke reformasi, memang mengubah para agen kekuasaan, tetapi tidak mengubah watak dasar kekuasaan itu sendiri. Itulah sebabnya orang-orang yang ingin berkuasa tetapi belum berkuasa (seperti para calon anggota legislatif, calon presiden, calon wakil presiden, dan calon anggota DPD) mungkin orang-orang yang benar-benar beritikad baik dan penuh tekad untuk memperbaiki keadaan pada saat kekuasaan belum ada di tangan mereka. Kalau setelah berkuasa mereka menjadi sangat berubah, keadaan ini tidak sepenuhnya merupakan kelemahan mereka secara pribadi, atau karena mereka adalah manusia yang hanya berpura-pura. Yang terjadi adalah bahwa mereka terkena dinamika kekuasaan dan tidak selalu kebal terhadap pengaruh kekuasaan.
Apa yang pernah ditulis oleh R.A. Kartini tentang moral kebudayaan dapat diterapkan untuk moral politik. Suratnya dari Jepara pada Agustus 1900 kepada Nyonya Abendanon memperlihatkan intuisi yang sangat tajam tentang risiko kekuasaan. Uniknya, pendapat ini berasal dari seseorang yang tidak pernah memegang kekuasaan apa pun dalam hidupnya. Dengan gaya yang jernih dan tak memungkinkan salah-tafsir, dia menulis: "Orang yang hidup dalam lingkungan yang sederhana tidak sukar untuk menjadi baik; seolah-olah dengan sendirinya dia akan menjadi baik. Sama sekali bukan suatu hikmat, bukan suatu jasa untuk tidak berbuat jahat, apabila tidak terbuka kesempatan bagi kita untuk berbuat demikian." Kalau "lingkungan yang sederhana" itu dapat ditafsirkan juga sebagai lingkungan yang tanpa kekuasaan, dan "tidak berbuat jahat" dapat ditafsirkan juga sebagai tidak menyelewengkan kekuasaan, surat Kartini mempunyai gaung politik yang tetap menggetarkan.
Pelajaran bagi kita ialah bahwa mengharapkan pemimpin panutan pada masa sekarang hanya merupakan ilusi yang indah dan jauh dari Realpolitik. Pemimpin panutan lebih merupakan kekecualian sejarah dan bukanlah sesuatu yang bisa diprogramkan. Mereka adalah para genius moral dengan kemampuan spiritual yang sangat tinggi, dan mempunyai kekuatan kehendak yang hampir-hampir linear untuk menaklukkan ambivalensi kekuasaan dan memaksanya menjadi energi yang jinak dan konstruktif. Gandhi di India sebelum ini atau Nelson Mandela di Afrika Selatan bukanlah sampel bagi kepemimpinan politik dunia, tetapi lebih mirip anomalinya. Pemimpin politik secara umum adalah orang-orang dengan bakat dan kemampuan moral rata-rata seperti warga negara yang lain, dan karena itu sangat rentan terhadap kemungkinan penyelewengan yang diberikan oleh kekuasaan politik yang sangat besar. Mereka hanya bisa tertolong oleh kontrol sosial yang ketat, sekalipun dalam wataknya kekuasaan sendiri tidak suka diawasi.
Dalam pengalaman sehari-hari dapat kita saksikan paradoks yang aneh. Para pejuang dan aktivis politik sering kali tabah dan tetap bertahan pada cita-citanya apabila ditekan dalam represi politik atau berhadapan dengan kekerasan politik. Mereka kuat menderita dan siap diperlakukan tidak adil. Akan tetapi, begitu terjadi perubahan politik yang menghantar mereka ke posisi kekuasaan, dengan mudah sekali mereka berubah dan merosot disiplin dirinya. Dalam politik, orang sanggup tahan susah, tetapi tidak tahan senang. Sebab, kesenangan politik senantiasa berhubung dengan kekuasaan, dan kekuasaan selalu berhubung dengan kesempatan menyelewengkannya.
Dalam kepustakaan sosiologi-politik, kekuasaan dijinakkan dengan cara mengaturnya. Pertama, dengan mendistribusikannya secara institusional sehingga kekuasaan tidak menjadi terkonsentrasi dan menjelma menjadi beban yang terlampau berat (dan kesempatan menyeleweng yang terlalu besar) pada satu orang atau satu lembaga. Tiga jenis kekuasaan yang kita kenal diandaikan saling membatasi dan mengawasi, asal saja ketiganya mempunyai otonomi relatif terhadap yang lainnya. Dalil sosiolog Niklas Luhmann dalam teori sistem yang self-referential berlaku di sini: kekuasaan hanya dapat dikontrol oleh kekuasaan, seperti juga kekuasaan hanya dapat diperkuat oleh kekuasaan. Kedua, melakukan sirkulasi atau rotasi para agennya sehingga orang-orang tidak berada terlalu lama dalam kekuasaan dan terlibat dalam vested-interest yang menjadi mendalam, karena dia tidak segera dijauhkan dari kesempatan penyelewengan.
Dilihat dengan cara itu, distribusi kekuasaan adalah kontrol kekuasaan dalam ruang, sedangkan rotasi kekuasaan adalah kontrol kekuasaan dalam waktu. Ruang akan menentukan bentuk dan kekuatan arsitektur kekuasaan politik, sedangkan waktu akan berhubungan dengan produksi kekuasaan politik. Distribusi kekuasaan berhubungan dengan penggunaan kekuasaan (dalam artian Bung Karno), sedangkan sirkulasi para agen kekuasaan berfungsi melayani pembentukan kekuasaan. Pemilu adalah saat terjadinya rotasi para agen kekuasaan yang menyebabkan bahwa para agen lama bisa dicabut dari posisinya, yang akan diisi oleh para agennya yang baru yang dipilih oleh rakyat.
Dalam memberikan suara nanti, para pemilih sebaiknya diingatkan bahwa mereka hendaknya memilih partai dan memilih calon yang mereka percayai. Di sini dapat diusulkan agar rakyat mengecek dengan teliti apakah seorang calon atau sebuah partai, dalam program yang ditawarkannya, menunjukkan imajinasi dan determinasi tentang bagaimana kekuasaan akan digunakannya kalau ia diberi kekuasaan. Tidaklah sulit menemukan partai atau calon yang ingin mendapatkan kekuasaan, tetapi alangkah sulitnya mendapatkan calon dan partai yang sedari awal sudah berpikir tentang cara dan tujuan kekuasaan itu digunakan. Lebih sedikit lagi menemukan calon dan partai yang sadar bahwa kekuasaan sendiri akan merupakan suatu risiko bagi diri mereka karena, dalam sifatnya yang self-referential, kekuasaan juga diselewengkan oleh kekuasaan.
Hal ini menjadi penting karena dalam pertentangan antara penggunaan kekuasaan dan perebutan kekuasaan, antara preferensi Hatta dan Sjahrir berhadapan dengan Sukarno, paham Sukarno yang akhirnya menang dan pengaruhnya masih tetap terasa sampai kini. Kini saatnya membalikkan kecenderungan bahwa hanya yang sanggup menjalankan kekuasaanlah yang boleh memilikinya. Alasan bahwa seseorang harus mempunyai kekuasaan dahulu baru dapat belajar memanfaatkannya harus ditolak dengan tegas pada saat sekarang. Kalau kurun waktu 60 tahun belum cukup bagi kita untuk belajar tentang penggunaan kekuasaan, bangsa ini hanya mempunyai dua kemungkinan: terlalu malas untuk belajar atau terlalu bodoh untuk menyimak apa yang dipelajarinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo