Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Janji Kampanye dan Kontrak Sosial

5 April 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Satya Arinanto Staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia

SEBAGAIMANA biasa, kampanye pemilihan umum antara lain diramaikan oleh obral janji oleh partai politik. Pada umumnya, janji yang diumbar berisi harapan akan kondisi yang lebih baik jika partai yang bersangkutan memperoleh suara signifikan, memperoleh kursi, atau menang dalam pemilu. Dalam konteks Pemilu 2004, janji kampanye tidak hanya disebar oleh para calon anggota badan legislatif dari suatu partai, tetapi juga akan disampaikan oleh calon presiden dan wakil presiden dalam pemilu presiden dan wakil presiden.

Ketika Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan ditanya mengenai janji-janji yang pernah dikemukakannya dalam pemilu, ia menyatakan kampanye merupakan suatu hal, dan memerintah adalah hal lainnya ("to campaign is one thing, and to govern is another thing"). Pernyataan ini merupakan cara mengelak yang cukup jitu terhadap gugatan yang disampaikan masyarakat Amerika karena Reagan dianggap belum atau tidak memenuhi salah satu janji yang pernah dikemukakannya.

Dalam konteks Indonesia, proses penagihan janji kampanye sebenarnya sudah sering terjadi. Penagihan janji tersebut antara lain dilakukan masyarakat yang biasanya merupakan konstituen suatu partai politik dengan cara mendatangi langsung para wakil rakyat dari suatu daerah pemilihan. Menghadapi hal ini, para wakil rakyat ada yang bersikap elitis, namun ada juga yang justru responsif.

Yang responsif biasanya muncul jika janji yang dituntut itu tidak terlalu berat untuk dipenuhi. Dalam kegiatan talk show tentang janji-janji kampanye yang diikuti penulis di suatu radio swasta di Jakarta baru-baru ini, seorang wakil rakyat dari Nusa Tenggara Barat, misalnya, mengaku telah memperjuangkan tuntutan masyarakat untuk upaya-upaya pemekaran wilayah dari daerah yang bersangkutan. Hal ini, menurut dia, telah dilakukannya walaupun pada saat ini ia tidak terpilih lagi menjadi calon anggota legislatif oleh partainya.

Pada masa Orde Baru pernah terjadi suatu peristiwa ketika janji suatu kontestan pemilu dipertanyakan realisasinya. Hal ini, misalnya, pernah terjadi ketika juru kampanye Golkar, J.B. Sumarlin, dalam kampanyenya di Kupang menjanjikan bahwa Golkar akan terus membangun sarana perhubungan seperti jalan, jembatan, dan feri penyeberangan antarpulau di Nusa Tenggara Timur. Di samping itu, Sumarlin juga menjanjikan bahwa sarana pendidikan akan terus ditingkatkan (Kompas, 25 Maret 1987).

Janji yang dikemukakan dalam kampanye Pemilu 1987 itu kemudian dipermasalahkan realisasinya sekitar empat tahun kemudian. Menanggapi hal itu, Sudharmono, yang menjabat Ketua Umum DPP Golkar ketika janji tersebut dikemukakan, menyatakan bahwa ia tidak yakin Sumarlin pernah menjanjikan hal seperti itu. Selengkapnya ia menyatakan, "Saya yakin Pak Marlin tidak pernah bilang, kalau Golkar di sini menang akan dibangun dermaga. Cek saja sama Pak Marlin, saya yakin tidak. Mungkin saja itu dikemukakan daerah sebagai aspirasi" (Kompas, 26 Maret 1991).

Bila kutipan kedua pemberitaan tersebut diperhatikan—yakni Kompas 25 Maret 1987 dan 26 Maret 1991—akan tampak kontradiksi yang menarik. Penerbitan 25 Maret 1987 jelas-jelas menyebutkan adanya janji tersebut. Dengan demikian—jika pemberitaan tersebut tidak salah kutip—sangat jelas bahwa janji tersebut memang pernah diucapkan. Namun, entah kenapa, janji tersebut kemudian diingkari ketika tujuan politik dari dikemukakannya janji tersebut sudah tercapai.

Dalam konteks inilah penulis sangat menyambut baik upaya sebagian kalangan partai untuk melakukan semacam kontrak sosial dengan para calon konstituennya. Dalam kontrak sosial, yang pada umumnya berbentuk semacam pernyataan atau perjanjian tersebut, antara lain dinyatakan bahwa para anggota legislatif yang bersangkutan berjanji secara tertulis untuk memenuhi program-program yang telah dipaparkannya jika mereka kelak terpilih menjadi anggota badan legislatif. Dalam beberapa rumusan dari kontrak tersebut bahkan dikemukakan bahwa mereka bersedia dituntut secara hukum, atau dilengserkan sebagai anggota badan legislatif, jika mereka tidak memenuhi janjinya.

Walaupun sudah merupakan permulaan yang baik, prakarsa semacam ini perlu diikuti dengan upaya memberikan landasan hukum, agar jika memang janji itu tidak dilaksanakan, para calon anggota legislatif tersebut dapat dituntut ke muka pengadilan. Di sisi lain, hal semacam ini juga harus diberlakukan terhadap semua calon anggota legislatif, termasuk para calon presiden dan wakil presiden, dalam pemilu presiden dan wakil presiden.

Untuk calon presiden dan wakilnya, hal ini bahkan lebih signifikan karena rakyat akan memilih mereka berdasarkan janji-janjinya itu. Apalagi jika pada masa yang akan datang Garis Besar Haluan Negara tidak ada lagi, maka pasangan terpilih akan menjalankan pemerintahannya berdasarkan program di atas janji yang dikemukakannya dalam kampanye itu. Dalam konteks inilah registrasi janji dalam format kontrak sosial semacam itu sangat signifikan untuk dilembagakan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus