Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nova Riyanti Yusuf
Sekretaris Jendral Asian Federation of Psychiatric Associations
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada sesuatu yang begitu kuat menohok jiwa dalam film Joker. Diceritakan bahwa Kota Gotham tidak lagi menyediakan anggaran pelayanan kesehatan jiwa bagi kelompok ekonomi lemah, seperti Arthur Fleck atau sang Joker. Arthur berbicara kepada petugas sosial dari Departemen Kesehatan dengan kalimat tragis: "Pemerintah tidak peduli kepada orang seperti Anda dan saya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketidakberpihakan juga terjadi di Indonesia dengan anggaran kesehatan jiwa yang sangat minim untuk Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza (narkotik, psikotropika, dan zat adiktif) di Kementerian Kesehatan. Anggaran pada 2010 hanya sebesar Rp 9,5 miliar, kemudian diintervensi Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat dan sempat meningkat hingga Rp 45 miliar. Nantinya anggaran itu ada kemungkinan besar turun lagi menjadi Rp 24 miliar. Alasan klasik keterbatasan penganggaran kesehatan adalah tuntutan berbasis bukti. Padahal basis bukti kesehatan jiwa terhambat karena Menteri Kesehatan selama lima tahun tidak menunjuk pusat penelitian, pengembangan, dan teknologi kesehatan jiwa seperti yang diamanatkan dalam Pasal 65 ayat 3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa.
Namun apakah sesi demi sesi konsultasi yang sempat dijalankan oleh Arthur membuatnya merasa lebih tenang? Arthur menjawab bahwa berbicara dengan terapis ternyata tidak membuatnya lebih terhibur. Ia merasa dirinya sebenarnya tidak didengarkan karena dalam setiap pertemuan ditanyakan hal yang sama tentang adanya pikiran negatif. Bahkan Arthur merasa lebih nyaman dikurung di rumah sakit jiwa. Rupanya dunia di luar rumah sakit jiwa dirasa sangat pedih bagi orang dengan gangguan jiwa. Kalimat yang viral di media sosial adalah "hal terburuk dari mengalami gangguan jiwa adalah orang-orang berharap dirinya berperilaku seolah-olah ia tidak mengalami gangguan jiwa".
Ada stigma yang begitu kuat di masyarakat sehingga saat seseorang mendapatkan diagnosis gangguan jiwa, itu adalah akhir hidupnya. Ia tidak lagi dianggap, tidak mempunyai nilai keekonomian, tidak mempunyai masa depan, dan bisa dikatakan bertransformasi menjadi sampah masyarakat. Akhirnya, Arthur pun sering memperlihatkan perilaku menyakiti diri sendiri saat ia sedang kecewa, seperti saat dipecat oleh bosnya. Arthur juga masuk ke kulkas yang dingin saat orang kaya seperti Thomas Wayne, ayah Batman, mengatakan ia bukan anaknya dan menyerang balik Arthur dengan kalimat verbal yang kasar sampai menyakiti hatinya.
Sampai di sini kita menjadi berpikir bahwa film Joker mengirimkan pesan tentang pentingnya kualitas pola komunikasi manusia dengan berbagai pihak, terutama orang tua terhadap anak, kolega terhadap kolega, majikan dengan anak buah, bahkan saat kita melihat badut aneh di jalan atau di kereta api yang memicu keinginan untuk merisak sang badut. Saat seseorang bersikap kasar kepada orang lain, tidak terlintas di dirinya bahwa sasarannya itu sedang berada dalam kondisi apa. Ada sebuah pesan kuat bahwa orang telah kehilangan kemampuan untuk merasakan penderitaan orang lain atau berempati.
Film Joker bukan justifikasi bahwa kekerasan adalah resolusi konflik atas semua perilaku tidak adil dan tidak dapat diterima oleh seseorang. Film itu justru melancarkan kritik sosial.
Penayangan film Joker memicu kehebohan masyarakat Indonesia dan dunia yang sontak menjadi kalut akibat irisan fantasi dan realitas seorang Joker. Sungguh sangat tepat film ini ditayangkan pada Oktober 2019 karena bertepatan dengan momentum di antara dua peringatan: 10 September adalah Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia dan 10 Oktober adalah Hari Kesehatan Jiwa Sedunia, yang tahun ini memilih tema "Promosi Kesehatan Jiwa dan Pencegahan Bunuh Diri".
Bunuh diri adalah sebuah kedahsyatan berakhirnya nyawa manusia secara dramatis dan tragis yang mampu membuat dunia menyadari bahwa peduli terhadap kesehatan jiwa sangatlah penting. Joker banyak menampilkan kekerasan terhadap diri sendiri dan orang lain. Dalam konteks tema Hari Kesehatan Jiwa Sedunia, muncul kekhawatiran tentang penyampaian pesan-pesan bunuh diri dari film Joker, terutama kepada kelompok rentan, seperti remaja penikmat film superhero.
Remaja adalah penduduk berusia 10-19 tahun yang dimasukkan juga ke golongan usia muda, yang batasannya 10-24 tahun. WHO (2016) mencatat jumlah kematian pada remaja laki-laki usia 15-19 tahun karena menyakiti diri sendiri berada pada peringkat ketiga. Sementara itu, menyakiti diri sendiri pada remaja perempuan berada di posisi kedua.
Organisasi kesehatan jiwa Headspace sempat membidik serial 13 Reasons Why, yang diproduseri idola remaja Selena Gomez, karena menjadi serial televisi di Netflix. Alasannya, serial ini mempertontonkan metode bunuh diri dengan sangat gamblang. Kekhawatiran Headspace terbukti. Menurut studi yang dilakukan oleh National Institute of Mental Health di Amerika Serikat pada 2017, serial 13 Reasons Why menyebabkan peningkatan 28,9 persen dalam hal bunuh diri di kalangan remaja Amerika usia 10-17 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa remaja sangat rentan terhadap media.
Ilustrasi tersebut tidak membatasi bunuh diri hanya menjadi masalah di negara maju, seperti Amerika. Menurut WHO Global Health Estimates 2017, kematian global akibat bunuh diri di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah adalah pada umur 20 tahun. Artinya, pencegahan bunuh diri harus dilakukan pada usia sebelum 20 tahun. Pada 2015, saya pernah melakukan penelitian bersama Kementerian Kesehatan untuk mengumpulkan data dari 1.014 responden remaja kelas X dan XI di sekolah-sekolah DKI Jakarta yang sering terlibat masalah, seperti tawuran. Penapisan menunjukkan bahwa remaja yang berpotensi mengalami gangguan depresi sebesar 30 persen, 19 persen memikirkan bunuh diri tapi tidak akan melakukan, dan 1 persen ingin bunuh diri.
Saya melakukan penelitian lanjutan pada 2018 dan menemukan bahwa remaja yang mempunyai ide bunuh diri serius dalam sebulan terakhir sebanyak 5 persen dari total 910 responden di DKI Jakarta. Saya juga mengembangkan instrumen deteksi dini faktor risiko ide bunuh diri remaja, yang saya namakan "instrumen ketahanan jiwa remaja", dan mendapatkan hasil 125 dari 910 responden (13,8 persen) memiliki faktor risiko ide bunuh diri yang tinggi. Analisis multivariat menunjukkan bahwa pelajar yang terdeteksi berisiko bunuh diri memiliki risiko 5,39 kali lebih besar untuk mempunyai ide bunuh diri dibanding pelajar yang tidak terdeteksi.
Bunuh diri sesungguhnya dapat dicegah. Pencegahan pada kelompok remaja yang rentan dapat dilakukan melalui program-program kesehatan jiwa di sekolah, termasuk penapisan berkala dan melanjutkan program intervensi keterampilan hidup dari Kementerian Kesehatan. Namun, dengan berbagai ikhtiar pencegahan bunuh diri, tentu tidak bisa dicegah adanya disrupsi teknologi. Kalaupun film di bioskop dapat dicegah dengan sistem restriksi usia penonton sehingga kelompok rentan tidak terpapar, derasnya informasi melalui media sosial sangat sulit terbendung. Tanpa harus melawan gravitasi disrupsi teknologi, justru upaya pencegahan bunuh diri harus ikut arus dan masuk upscaling digitalisasi kesehatan jiwa.