Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA dua kata populer sebagai ungkapan spontan khas untuk merespons suatu keadaan hari-hari ini. Satu kata adalah “menyala” dan kata lain “woo”. “Menyala” dipakai untuk respons positif yang hasilnya sudah tampak dan biasanya dilanjutkan dengan “gas pol”, ungkapan khas yang sudah agak lama yang artinya lanjutkan. Adapun “woo” dipakai untuk respons terhadap sesuatu yang belum jelas ke mana arahnya. Kabinet Merah Putih—kabinet yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto—direspons dengan “kabinet woo”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini kabinet terbesar dalam sejarah Indonesia sejak era Orde Baru. Ada 48 menteri dengan 56 wakil menteri. Belum lagi badan setingkat menteri. Jika dihitung sejak berdirinya Republik, kabinet ini hanya kalah oleh Kabinet Dwikora yang dibentuk Presiden Sukarno menjelang akhir kekuasaannya pada 1966. Jumlah menterinya 136 orang. Dan Kabinet Dwikora hanya berumur satu setengah bulan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kenapa Kabinet Merah Putih direspons dengan woo? Bukankah arahnya jelas sebagaimana pidato Prabowo seusai pelantikannya di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat? (Sedikit ralat atas salah kaprah ini: presiden dan wakil presiden bukan dilantik, melainkan mengucapkan sumpah dalam sidang MPR). Pidato Prabowo dengan penuh semangat mengesankan bahwa dia akan mengoreksi kebijakan sebelumnya. Komitmen Prabowo terhadap reformasi ekonomi menjadi titik sentral pidatonya. Ia tegas berbicara tentang rencana menciptakan kebijakan ekonomi yang lebih inklusif dengan berfokus pada peningkatan kesejahteraan rakyat kecil. Isu-isu penting, seperti penciptaan lapangan kerja, peningkatan daya beli masyarakat, dan pemberantasan korupsi, menjadi prioritas. Prabowo memberi sinyal kuat bahwa pemerintahannya akan berfokus pada perbaikan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Pidato Prabowo memberi sinyal jelas tentang arah kepemimpinannya. Namun, ketika kabinet diumumkan, ternyata hasilnya woo. Berbagai julukan minor terlontar, mempertanyakan banyaknya jumlah menteri dan wakilnya. Julukan kabinet bagi-bagi kursi, kabinet akomodasi, hingga kabinet super-gemuk. Juga tentang banyaknya menteri era Presiden Joko Widodo yang diangkat kembali.
Gejala apa ini? Apakah Prabowo akan melanjutkan “penyakit” Jokowi yang inkonsisten antara ucapan dan perbuatannya? Dalam bahasa yang lebih keren, apakah ada gejala disonansi kognitif (cognitive dissonance) atau ketidakselarasan antara apa yang dipikirkan serta diucapkan dan apa yang diperbuat? Penyakit ini konon bisa terjadi karena seseorang mengalami berbagai tekanan. Dia tahu bahwa sesuatu itu salah dan harus diperbaiki. Dia pun tahu bagaimana cara memperbaiki sesuatu itu, tapi tidak bisa melakukannya karena ada tekanan. Siapa yang bisa menekan Prabowo, jenderal yang pernah memimpin pasukan khusus itu? Adakah pendahulunya, sebut saja Jokowi, atau justru dari gagasan yang baik ingin membangun negeri secara bersama-sama, tapi salah dalam penerapannya? Sebanyak mungkin orang dirangkul dengan memberi jabatan. Padahal bersama-sama bisa dalam bentuk lain. Ada yang ditugasi mengawasi, ada yang bertugas menunjukkan kekeliruan dan seterusnya.
Para menteri hasil bagi-bagi jatah ini sudah gagap pada hari-hari pertama. Ada yang bingung di mana letak kantornya. Ada yang minta anggaran puluhan triliun rupiah dengan mimpi membangun sekolah hak asasi manusia pertama di dunia. Ada yang tak tahu di mana mencari personel untuk mengisi kementeriannya. Bagi yang sudah jelas alamat kantornya dan tak perlu lagi membuat stempel baru, gerak cepatnya mengundang semua kepala desa untuk menghadiri haul ibundanya di tempat istrinya menjadi calon bupati. Aneh-aneh, woo….
Membiayai kementerian yang banyak ini butuh dana besar untuk hal-hal yang sebenarnya sepele. Contoh receh, ada ratusan ribu sekolah dasar di seluruh Indonesia dan papan namanya akan diperbarui. Stempel, kop surat, dan logo, semua berubah. Padahal pengarahan Prabowo adalah anggaran dihemat, proyek mercusuar dihentikan, dan perjalanan dinas dikurangi.
Hanya ada satu cara agar kabinet ini berhasil. Presiden dan semua menteri satu irama, meskipun tak harus belajar baris-berbaris di Lembah Tidar, Magelang. Hilangkan “penyakit” disonansi kognitif; apa yang dikatakan, itulah yang dilaksanakan. Bahasa khas Prabowo adalah jangan omong-omong doang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo