Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KABINET pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sangat mungkin jauh dari bayangan ramping dan lincah. Rencana presiden dan wakil presiden terpilih itu untuk membentuk pemerintahan yang merangkul hampir semua partai politik, isyarat bahwa mereka akan menjalankan praktik bagi-bagi kue kekuasaan melalui kursi menteri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagian orang mungkin menganggap wajar langkah politik semacam itu demi menciptakan pemerintahan yang stabil karena didukung mayoritas kekuatan di Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, selain mengakibatkan lemahnya keseimbangan kekuasaan, elemen penting negara demokrasi, bagi-bagi kursi kabinet itu akan menjadi beban negara.
Simak rencana Prabowo Subianto yang beredar di antara politikus partai pendukungnya. Partai penyokong Prabowo sejak awal pemilihan umum yang mendapatkan kursi di DPR bakal kebagian tiga-lima pos menteri. Adapun partai yang tak lolos ke Senayan disebut akan mendapat satu kursi menteri atau wakil menteri. Partai-partai yang belakangan bergabung, seperti Partai NasDem dan Partai Kebangkitan Bangsa, mendapat satu-dua posisi. Pendukung Prabowo yang berasal dari luar partai juga disediakan pos wakil menteri.
Jumlah kementerian pun akan bertambah. Dari tadinya 34 menteri sesuai dengan Undang-Undang Kementerian Negara, di kabinet Prabowo akan menjadi 38-40. Tentu saja, untuk mengakomodiasinya, sebelum susunan kabinet diumumkan, Undang-Undang Kementerian Negara perlu direvisi lebih dahulu—yang pembahasan dan pengesahannya tampaknya akan berjalan mulus. Menurut para politikus partai pendukung Prabowo, hampir setiap menteri akan dilapis oleh wakil menteri.
Dengan koalisi besar seperti itu, pemerintahan Prabowo Subianto mungkin akan stabil karena ia menguasai dukungan di DPR, tapi tak akan bekerja optimal. Makin besar kabinet, makin besar pula birokrasinya. Tumpang-tindih program antar-kementerian juga sangat mungkin terjadi.
Konsekuensi lain, anggaran juga membengkak. Setiap pembentukan kementerian baru akan diikuti penambahan pejabat di bawahnya. Kian banyak pejabat, kian besar anggaran negara yang dikeluarkan bagi mereka. Bukan hanya di tingkat menteri ataupun wakil menteri, juga staf ahli, staf khusus, pejabat eselon I, dan seterusnya.
Bandingkan dengan kabinet di negara-negara maju. Amerika Serikat, misalnya, cuma punya 15 kementerian, saat presidennya dari Partai Demokrat maupun dari Republik. Jerman juga cuma punya 15 kementerian. Adapun di Jepang, kementerian tak lebih dari 20. Jumlah menteri dan nomenklatur kementerian di negara-negara tersebut nyaris tak berubah dari pemerintahan ke pemerintahan. Kabinet ramping menunjukkan pemerintahan dibentuk untuk bekerja mangkus dan sangkil, bukan untuk politik dagang sapi.
Dalam hal pemerintahan Prabowo, ia berencana memisahkan sejumlah kementerian. Misalnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang digabungkan di era Presiden Joko Widodo bakal diceraikan kembail menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan. Padahal kedua bidang tersebut seperti dua sisi mata uang—mempengaruhi satu sama lain dari sisi berlawanan.
Prabowo juga berencana membentuk kementerian koordinator baru di bidang pertanahan. Pembentukan pos kementerian ini, sebagaimana tiga kementerian koordinator lain, sebenarnya tak mendesak. Selama ini fungsi kementerian koordinator tak optimal mengkoordinasikan kebijakan dan program kementerian. Sejumlah ahli dan guru besar bahkan pernah mengusulkan kementerian koordinator dihapus. Selain tak wajib menurut regulasi, keberadaan kementerian koordinator mereduksi koordinasi langsung menteri teknis dengan presiden.
Karena itu, kalaupun ada juga penggabungan kementerian, hal itu tak mengurangi jumlah kementerian karena nomenklatur baru ataupun hasil pemisahan lebih banyak dari kementerian yang dilebur. Padahal jika peleburan ini bagian dari perampingan kabinet, menjadi 20-24 kementerian seperti kajian Lembaga Administrasi Negara pada 2014, rencana itu menyiratkan niat baik pemerintahan mendatang.
Sejauh ini rencana formasi menteri bertolak belakang dengan prinsip-prinsip pembentukan kabinet yang efektif dan efisien. Klaim politisi pendukung Prabowo bahwa menteri bakal bekerja seperti kabinet zaken pun hanya ilusi. Kursi menteri hanya alat bagi-bagi kue kekuasaan untuk memperluas kartel ketimbang perwujudan konsosiasionalisme—keterwakilan kelompok yang memiliki platform jelas untuk meredam konflik.
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Bagi Kursi Kabinet Besar".