Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MALAM itu, 19 Februari 2023, tepat pada menit ke-4 detik ke-17, pertandingan sepak bola Liga Super Turki antara tuan rumah Besiktas dan Antalyaspor dihentikan. Detik selanjutnya stadion dihujani ribuan boneka berbagai bentuk dan ukuran. Dari semua penjuru tribun, penonton melontarkan boneka-boneka tersebut ke tengah lapangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut situs Besiktas, pelemparan mainan itu diberi nama “Bu oyuncak sana arkadasım”—“Mainan ini untukmu, temanku”—satu ikhtiar untuk memberi semangat kepada anak-anak korban gempa. Para pemain dan pekerja stadion mengumpulkan boneka-boneka itu, mendorongnya ke pinggir lapangan, dan memberikan tepuk tangan penghormatan kepada penonton.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“4:17” adalah angka simbolis yang merujuk pada pukul 04.17 saat guncangan 7,8 magnitudo terjadi pada 6 Februari 2023 di Turki selatan dan Suriah utara. Gempa membuat 62.013 orang meninggal dan lebih dari 121 ribu terluka—salah satu bencana alam paling mematikan pada abad ke-21.
Pertandingan Besiktas-Antalyaspor dilanjutkan dan berakhir dengan skor imbang, tanpa gol.
Meski sepak bola adalah eskapisme, yang terjadi di stadion Besiktas malam itu menunjukkan kepekaan dan empati audiens kepada penderitaan dunia yang konkret. Sayangnya, tidak semua benda yang dilempar ke lapangan semanis boneka-boneka itu. Para penggemar sepak bola, terutama fan Barcelona dan Real Madrid, tidak akan pernah lupa insiden kepala babi Figo.
Semua bermula pada tahun 2000 ketika Luís Figo, bintang Barcelona yang dicintai saat itu, bergabung dengan Real Madrid, rival bebuyutannya. Dua tahun kemudian, 23 November 2002, kembalinya gelandang Portugal itu ke Camp Nou dengan seragam Real Madrid berujung pada satu malam paling dramatis dalam sejarah sepak bola Spanyol.
Hujan mengguyur Barcelona; air menetes-netes dari jaket, payung, tribun. Ini pertandingan kedua Figo di Camp Nou sejak meninggalkan Barcelona. Datang untuk laga La Liga pertama pada Oktober 2000, dia diolok-olok selama 90 menit. Peristiwa itu mengasah permusuhan dan kerusuhan.
Sejak menit pertama, peluit dan cemoohan tak berhenti, terutama saat Figo mendapat kartu kuning. Emosi meninggi. Tiap kali Figo mengambil tendangan sudut, kata-kata kasar dan benda-benda melayang dari tribun penonton, mengarah kepadanya. Pada mulanya tak ada yang melihat secara jelas benda aneh yang teronggok di dekat kaki Figo, sampai seorang petugas mengangkatnya dan, itu dia, kepala seekor binatang. Berita menyebar ke seluruh tribun: “Kepala babi... ada yang melempar kepala babi....”
Michael Robinson, mantan pemain Liverpool dan jurnalis olahraga di Spanyol, mencatat insiden kepala babi itu sebagai sebuah “ledakan” kemarahan dan kekecewaan fan Barcelona. The object is the message. Apa yang dilempar ke lapangan adalah apa yang hendak dikatakan penonton.
Tapi tidak semua pelemparan benda ke lapangan punya motif atau pesan yang bisa dibaca dengan jelas. Masih menjadi misteri mengapa fan Chelsea, klub Inggris, melontarkan seledri ke tengah lapangan di Stamford Bridge yang akhirnya jadi tradisi sejak 1980-an. Atau pendukung Hansa Rostock yang melempar ikan mati ketika timnya kalah oleh tuan rumah Carl Zeiss Jena di liga divisi 3 Jerman.
Ilan Tamir, profesor ilmu komunikasi School of Communication at Ariel University, Israel, yang meneliti perilaku fan sepak bola, menemukan tiga motif pelemparan benda-benda ke lapangan. Pertama, protes yang mencerminkan frustrasi terhadap pemain ataupun wasit. Kedua, ekspresi “kepemilikan” terhadap tim yang mereka dukung. Ketiga, untuk menunjukkan superioritas terhadap tim lawan. Tiga motif itu, sayangnya, memiliki gestur yang ofensif, menjurus pada kekerasan.
Di Stadium Cult(ure), dalam sebuah pameran oleh Littmann Kulturprojekte Basel, kurator menunjukkan fenomena mutakhir di stadion-stadion Eropa tempat arena sepak bola dipakai oleh segelintir orang untuk mengekspresikan kekerasan, rasisme, atau diskriminasi. Ketika itu terjadi, tribun pun berubah menjadi ajang kebencian kolektif—pantulan patologi sosial di luarnya.
Tapi sepak bola terus berlanjut. Akhir pekan demi akhir pekan, jutaan orang berkumpul, membawa antusiasme dan potensi kreatif yang menjadikan stadion medan peristiwa besar. Bagaimana kekerasan, rasisme, dan diskriminasi bisa diredam, jika tidak dihilangkan, dalam pesan-pesan yang mengemuka di lapangan?
Dani Alves, mantan gelandang bertahan Barcelona dari Brasil, menunjukkan bahwa humor, seperti jurus aikido, bisa menjatuhkan lawan dengan membalikkan serangannya. Dalam pertandingan melawan Villarreal di Stadion El Madrigal, seorang penonton melemparkan pisang tepat ketika Alves akan melakukan tendangan sudut. Sebuah tindakan rasis yang menyamakan Alves, yang berkulit hitam, dengan monyet.
Ali-alih tersinggung. Alves mengambil pisang itu, mengupas, dan memakannya. Dunia serentak mendukungnya dan memulai kampanye besar-besaran di media sosial melawan rasisme.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo