Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KRITIK bertubi-tubi kepada Presiden Joko Widodo karena cawe-cawe dalam pemilihan presiden tak membuatnya surut. Setelah mengantarkan anak sulungnya menjadi wakil presiden, kini Jokowi menempuh segala cara memuluskan anak bungsunya, Kaesang Pangarep, menjadi calon Wakil Gubernur Jakarta dalam pemilihan kepala daerah 27 November nanti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika jagoan Jokowi dalam pemilihan presiden adalah Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, di Jakarta ia “menunggangi” politikus Partai Golkar, Ridwan Kamil. Mantan Gubernur Jawa Barat itu ia jagokan menjadi calon gubernur dan Kaesang ia plot sebagai wakilnya. Namun, menurut survei, tokoh paling populer memimpin Jakarta sejauh ini masih Anies Baswedan. Popularitas Ridwan Kamil bahkan kalah dibanding mantan Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasrat Jokowi pun akan terganjal oleh Anies Baswedan, rival utama Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden lalu. Seperti usahanya menjegal Anies dalam pemilihan presiden, temuan majalah ini menyebutkan Jokowi tengah membujuk elite partai Koalisi Perubahan—Partai NasDem, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Kebangkitan Bangsa—agar tak mengusung mantan Gubernur Jakarta itu kembali menjadi DKI-1. Kepada mereka, Jokowi dan para pesuruhnya menjanjikan kursi kabinet di pemerintahan Prabowo atau penggantian biaya pemilihan umum.
Skenario cawe-cawe kepala negara dalam pemilihan presiden tampaknya bakal terulang dalam pemilihan kepala daerah. Pada akhir Mei lalu, Mahkamah Agung mengubah peraturan Komisi Pemilihan Umum tentang batas usia kepala daerah. Peraturan KPU mematok usia minimal menjadi gubernur 30 tahun. Hakim agung mengubahnya menjadi 30 tahun saat pelantikan. Perubahan itu membuka jalan politik Kaesang Pangarep yang genap 30 tahun pada 25 Desember 2024.
Dalam pemilihan presiden lalu, ipar Jokowi yang menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, mengubah Undang-Undang Pemilu agar Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Jokowi, yang belum cukup umur bisa menjadi kandidat wakil presiden. Setelah itu, Jokowi mengarahkan pemilih mencoblos anaknya melalui aparatur negara hingga pemberian bantuan sosial di masa kampanye. Cawe-cawe Jokowi itu membuat Prabowo-Gibran membukukan kemenangan 58 persen.
Semestinya, Partai Gerindra tak manut pada skenario Jokowi. Empat bulan lagi Prabowo Subianto resmi menjadi presiden. Pengaruh Jokowi akan surut setelah itu. Mendukung pasangan Ridwan Kamil-Kaesang Pangarep merupakan wujud kekalahan pamor Prabowo. Mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus itu hendaknya membuktikan ia bukan boneka Jokowi.
Namun, alih-alih mengajukan calon sendiri, sebagian politikus Gerindra justru tunduk pada kehendak Jokowi. Sikap minimalis mereka patut disayangkan: membiarkan skenario Jokowi di Jakarta melenggang asalkan kader mereka tak diganggu dalam pilkada Jawa Barat. Gerindra hendak mengusung mantan Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, menjadi calon Gubernur Jawa Barat.
Perilaku elite yang bersekongkol memainkan hukum dan menodai pemilu kian menguatkan praktik politik kartel. Menurut Kuskridho Ambardi, dalam Mengungkap Politik Kartel (2009), ada lima ciri kartel dalam sistem kepartaian sejak Reformasi 1998: hilangnya ideologi, sikap permisif pembentukan koalisi, absennya oposisi, pengabaian hasil pemilu, dan elite partai bertindak kolektif dalam manuver politik.
Para kartel pemilik partai dan elitenya kini tunduk kepada Jokowi karena mereka terperangkap pelbagai kasus hukum. Akhirnya, yang terjadi adalah pragmatisme dua lapis. Pertama, mereka mengambil untung dengan mempertahankan praktik kotor politik kartel. Kedua, mereka menikmati dukungan sumber daya negara yang disediakan Jokowi yang tengah mempertahankan kekuasaan lewat nepotisme.
Hubungan mutualisme kartel politik dengan penguasa tanpa etika seperti Jokowi tecermin dalam koalisi dan persekongkolan pemilihan kepala daerah. Tanpa malu dan merasa bersalah, mereka mengusung Kaesang Pangarep, pemuda yang tak punya pengalaman politik dan birokrasi, bertarung dalam pemilu.
Kerusakan sistemik itu akan meluas. Dalam pemilihan presiden, publik yang tak setuju dengan perilaku lancung Jokowi tak berdaya akibat manipulasi dan persekongkolan jahat kartel politik. Pilkada tampaknya hanya akan mengulang kisah kelam itu.