Kasum ABRI Letjen HBL. Mantiri sempat melontarkan pernyataan bahwa kasus unjuk rasa buruh di Medan ditunggangi oknum-oknum yang menggunakan "cara-cara komunis" (lihat berita-berita hari Kamis, 21 April 1994). Saya kira, kalau pernyataan itu benar, pelakunya harus segera diseret ke pengadilan. Tapi, saya juga ingin bertanya, cara-cara apakah yang telah digunakan oknum-oknum yang menyalahi sumpah jabatan dengan mengobral katabelece, menggunakan pengaruh wibawa jabatannya untuk menekan direksi bank negara untuk mengucurkan megakredit kepada pengusaha licik, yang menghasilkan kerugian negara triliunan rupiah? Cara-cara apakah yang telah diterapkan direksi Bapindo dalam menjalankan tugasnya yang lebih mementingkan keamanan jabatan sehingga tidak mampu menolak tekanan atasan, sekalipun si atasan jelas-jelas salah? Cara-cara apakah yang diterapkan hakim, jaksa, pengacara yang tidak segan-segannya memeras para tersangka untuk membayar suap puluhan atau ratusan juta rupiah? Cara-cara apakah namanya, bila ada pejabat pegawai negeri yang rajin membuat SPJ aspal (asli tapi palsu), memaksa bawahan untuk "berlibur" karena namanya dipakai seolah-olah sedang melakukan perjalanan dinas entah ke ujung pulau yang mana? Cara apakah namanya, bila para pejabat yang berhubungan dengan kegiatan pembelian ternyata rajin sekali memaksa calon rekanan untuk menyetor sejumlah uang atau barang? Cara-cara apakah namanya, yang dilakukan para birokrat yang menjalankan proyek seperti proyek pembangunan terminal Kampung Rambutan? Cara-cara apakah namanya, yang dilakukan para wakil rakyat yang ternyata menerima sejumlah uang dari pengusaha yang usahanya merugikan rakyat dan negara? Dan, cara-cara apakah namanya, yang dilakukan para oknum yang kebetulan sedang memegang kekuasaan dan wewenang, tapi kemudian justru memanfaatkan kekuasaan dan wewenangnya itu untuk "menutup-nutupi" kasus-kasus kolusi dan korupsi itu? Bayangkanlah bagaimana perihnya luka nurani keadilan kami, rakyat kecil. Hakim, yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan, ternyata ada yang makan suap. Jaksa, yang seharusnya menjadi pembela kebenaran, ternyata ada yang mengatur tuntutan sesuai suap yang diperolehnya. Anggota DPR/DPRD, yang seharusnya menjadi tumpuan rakyat yang "katanya" diwakilinya, ternyata juga ada yang menarima suap. Pejabat tinggi negara, yang seharusnya menjadi panutan masyarakat, ternyata ada yang menggunakan wibawa jabatannya untuk berkolusi. Tentara, yang seharusnya diagung-agungkan sebagai pengawal bangsa dan negara, ternyata ada yang menyiksa dan memaksa rakyat untuk mengakui pembunuhan. Pegawai negeri, yang katanya abdi masyarakat, ternyata ada yang hidupnya melulu berpikir bagaimana cara mencuri uang negara guna memperkaya diri pribadi. Lalu, kepada siapakah kami harus mempercayakan nasib kami? Pembangunan selama 25 tahun ini memang telah dapat kami rasakan hasilnya. Terimakasih. Namun, nurani keadilan kami ternyata kian sering tertoreh luka.MINDRA FAIZALISKANDIAR Jakarta 10270
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini