Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kasus Bapindo: tak satu kata dan perbuatan

DPA sepakat kasus bapindo diselesaikan secara hukum. tak seorang pun kebal hukum. DPA berharap semua pihak menempatkan persoalan tersebut secara proporsional.

7 Mei 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketika menanggapi keterlibatan Sudomo dalam kasus Eddy Tansil-Bappindo, pada 31 Maret lalu, Dewan Pertimbangan Agung (DPA) mengeluarkan pernyataan. Isinya, antara lain, DPA sepakat dengan pemerintah bahwa kasus itu harus diselesaikan tuntas menurut hukum, karena negara kita adalah negara hukum. Jadi, tak seorang pun yang kebal hukum. DPA juga berharap agar semua pihak menempatkan persoalan tersebut secara proporsional dan harus berpegang pada asas praduga tak bersalah. Tapi jika dihadapkan ke suasana sehari-hari, pernyataan DPA itu tak memberi makna apa-apa. Yang memberi makna sering yang sebaliknya. Bahwa hukum itu menjadi impoten atau dibuat impoten jika berhadapan dengan kasus-kasus yang punya kaitan dengan orang-orang penting. Asas praduga tak bersalah, jika berhadapan dengan kaum lemah atau kaum papa, sering dibelokkan menjadi asas praduga bersalah. Gampar dulu, atau hajar dulu habis- habisan, hukum belakangan. Sejumlah hakim pun sering berlaku demikian. Jika ada satu atau lebih kepentingan pribadi, jabatan, bisnis, dan politik tidak menguntungkan si hakim, atau akan merugikan orang-orang tertentu yang perlu dilindunginya, maka hakim bersiteguh pada apa yang dikemukakan saksi atau terdakwa di depan pengadilan saja. Tapi jika sebaliknya, hakim pun bisa membentak saksi atau terdakwa untuk tidak menyimpang dari berita acara pemeriksaan (BAP). Lantas di mana letaknya status negara hukum, di mana tak ada orang yang kebal hukum? Retorika clean government jangan hanya diteriakkan demi kepentingan politis. Apalagi, sering kata-kata itu hanya diarahkan terhadap bawahan. Pejabat dan penegak hukum yang punya komitmen moral, seharusnya, menyadari hal demikian dan tidak menggunakan jabatan atau kekuasaan yang sedang dipegangnya untuk hal-hal yang punya potensi destruktif. Jika pun tidak mampu berbuat adil, minimal mendekati keadilan saja sudah punya nilai positif. Ataukah semuanya sudah menganut falsafah "aji mumpung", termasuk mumpung belum mati, sehingga terus-terusan berbuat semau gue?SAIFUDDINGraduate Student Department of Sociology and Anthropology Ateneo de Manila University Loyola Heights Quezon City Metro Manila The Philippines

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus