NYONYA siluman Teater Koma, jelmaan ular putih yang sakti, tidak hanya cantik tapi juga tercinta. Dengan pakaian Cinanya yang putih, tenang, dan welas asih, ia berdiri bagai tonggak yang kalem di tengah kancah peristiwa yang seru namun cerah ceria. Panggung berwarna meriah. Pertunjukan ringan dan (sedikit) kocak, dengan stilisasi yang kuat hampir pada setiap unsur dan keseluruhan pemain yang harus dikatakan siap. Lakonnya: sebuah takhayul rakyat Cina yang dikemas Nano Riantiarno dengan apik, dengan hanya sekilas singgungan moral. Moralnya sendiri sebenarnya tidak jelas betul: bukan ajaran imperatif tentang salah dan benar. Seperti layaknya produk alam pikiran Cina, cerita datang kepada kita sebagai bagian dari berita tentang "langit dan bumi", dalam latar kosmos yang mempunyai lebih dari 30 langit, tempat dewa-dewi terlibat berbagai pemihakan dan penjelmaan dan penggunaan kekuatan gaib, dengan pantulan di sela-selanya gambaran nasib, rezeki, keberuntungan, alias takdir. Dan takdir pada orang Cina, agaknya, selalu dicoba dilawan -- bila tidak mungkin ditawar. Ketika akhirnya sang nyonya jelmaan, Peh Tin Nio, kalah perang melawan tokoh "pendeta pembasmi siluman", yang kemudian memenjarakannya di menara pagoda, adiknya, Siauw Ching, melarikan diri untuk melanjutkan tapanya 500 tahun lagi agar sanggup membebaskan sang kakak. Itu memang pergulatan antara baik dan buruk. Adalah cinta kasih yang mendorong ular putih itu bertapa seribu tahun untuk bisa mejelma menjadi manusia. Ia lalu mengawini pemuda anak petani, memberinya modal untuk membuka toko obat, dan banyak berderma kepada fakir miskin, sampai kemudian mengandung. Tetapi siluman adalah wujud kejahatan, menurut "agama". Dan "agama" di sini, yang agaknya Budhisme (wajah sang Budha yang jelita, meski lebih terasa sebagai hanya bagian artistik panggung, dilukiskan pada layar transparan yang sewaktu-waktu turun untuk menjadi latar belakang), tidak memberi kesan apa- apa kecuali sebuah tubuh formal. Di luar itu, setidak-tidaknya di panggung, tak ada "Budha" -- bahkan "Budha sinkretis Cina". Jakob Sumardjo, yang memperkirakan -- dalam tulisannya di buku pementasan -- asal mula lakon ini dari masa sesudah Budhisme masuk ke negeri Cina pada zaman Dinasti T'ang (618-906 M), hanya tidak jelas menyebut apakah Ouw Peh Coa (Dua Siluman Ular) memang bentuk "pemberontakan" terhadap legalisme, juga dalam wujud agama (yang barangkali belum sepenuhnya diterima rakyat), yang begitu tega membunuh keluhuran budi hanya karena ia bukan dari pihaknya. Sudah tentu cerita seperti itu bisa dipentaskan dengan pendekatan tragedi. Tetapi tidak oleh Teater Koma, agaknya. Bukan hanya karena grup ini bukan sebuah opera Beijing atau opera Cina mana pun. Tapi juga karena jenis sukses yang mereka peroleh selama ini tampak dibangun dari pertemuan klop antara kecenderungan grup ini dan kesukaan publiknya yang besar, yang sama-sama ogah kepada "yang berat-berat". Kekuatan Teater Koma justru terlihat dari kemampuannya memelihara komunikasi dengan penonton yang Indonesia itu. Anda tak akan mendengar nyanyian kecil tinggi yang mendayu, setengah mengeong dan melejit-lejit, di sela-sela bunyi gembrengan yang memelihara dramatik lakon. Terkadang dimasukkan bunyi pukulan ritmis (tung... tung...) pada kentongan kecil, tetapi kesan sekilas opera Cina hanya dibersitkan oleh sepotong-sepotong melodi yang sederhana (bahkan yang sama sekali datar) yang dipadukan dengan, khususnya untuk Tin Nio dan Siauw Cing, satu atau dua jurus gerak silat yang gemulai, kemudian setop. Pola gerak itulah, kerja piawai Sentot S., yang pertama kali terasa menyatukan seluruh olahan -- di samping sudah tentu kostum dan rias oleh Subarkah, yang hampir seluruhnya Cina, dengan tambahan tata artistik Taufan S. Paduan unsur-unsur itu menyatu. Bila perang tanding Tin Nio dan Siauw Ching melawan sang peramal atau pendeta, juga perang dengan para "penjaga langit", diwujudkan dengan kipas (dan jadilah koreografi perang kipas yang jelita dan "seru"), tahulah kita bahwa sajian ini pun bukan tontonan melodramatis yang terutama memberi kesempatan penonton untuk, misalnya, menunggu adegan perang pedang, seperti model yang diselenggarakan para peranakan Cina yang dikatakan sudah mementaskan lakon ini dengan bahasa "Melayu pasar" pada tahun 1911. Semuanya menyatu. Dan dengan dialog yang tangkas dan penafsiran yang kaya humor, serta kesulitan kita untuk mencari kekurangan para pemain (harus disebut yang mengesankan: pemain ular putih dan hitam, Sari Madjid dan Rita Matu Mona, dan Budi Sobar sang dalang), dan dengan beberapa kelemahan pada ritme (terasa sehabis kemunculan dalang sampai waktu jedah), pementasan "opera" cantik yang empat jam ini sangat layak bila menghibur penonton.Syu'bah Asa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini