Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIMULAI pada 2009, pengembangan kawasan ekonomi khusus berjalan lambat. Disahkan lewat Undang-Undang Kawasan Ekonomi Khusus, tak banyak kemajuan yang dicapai: angka investasi masih rendah, manfaat ekonomi yang ditimbulkannya juga kecil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembentukan kawasan ekonomi khusus sesungguhnya dimaksudkan untuk mendorong ekspor. Di beberapa daerah, sejumlah lokasi strategis yang memiliki keunggulan ekonomi dipilih. Diharapkan, banyak perusahaan yang bergerak di sektor ekspor-impor-juga pegiat ekonomi yang memiliki daya saing internasional-bersedia menanamkan uangnya di sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kenyataannya, tak banyak perusahaan yang tertarik. Dari 12 kawasan, baru dua yang mulai berkecambah: Mandalika di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan Sei Mangkei di Simalungun, Sumatera Utara.
Di Mandalika, realisasi investasi sampai akhir tahun lalu mencapai Rp 428,6 miliar. Angka itu jauh di bawah komitmen investasi di kawasan wisata yang dikelola PT Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) itu, yang besarnya Rp 13,5 triliun. Juga masih belum apa-apa dibandingkan dengan target investasinya, sebesar Rp 28,6 triliun. Sepuluh kawasan lain saat ini masih jalan di tempat.
Daya tarik berupa pembebasan bea masuk, pengurangan atau keringanan pajak, dan kemudahan perizinan tak otomatis membuat investor berduyun-duyun menyerbu berbagai kawasan khusus tersebut.
Ada dua hal yang membuat investor enggan masuk ke sana: kesiapan lahan serta infrastruktur pendukung, seperti jalan dan listrik. Selain itu, dukungan pemerintah daerah yang minim menambah panjang penghambat kemajuan program ini.
Di Tanjung Lesung, misalnya. Pengembangannya hampir saja mandek karena jarak yang jauh dari pusat ekonomi dan akses yang terbatas. Pemerintah Kabupaten Pandeglang meminta Jababeka Group, sebagai pengembang kawasan itu, membangun jalan tol menuju Serang sejauh 84 kilometer. Setelah pemerintah pusat meminta BUMN Wijaya Karya membangun jalan tol, barulah sejumlah komitmen investasi masuk.
Sudah selayaknya pemerintah pusat habis-habisan mempercepat pembangunan kawasan ekonomi khusus. Tak hanya memberikan fasilitas pembebasan bea masuk, perpajakan, dan perizinan, pemerintah pusat juga harus ikut andil membangun infrastruktur, terutama akses jalan dan listrik. Pusat selayaknya juga mengupayakan modal awal. Contoh bukan tak ada. Ketika pusat mengucurkan penyertaan modal negara ke ITDC sebesar Rp 250 miliar pada 2015, Mandalika segera menggeliat.
Melalui pengembangan kawasan ekonomi khusus, pemerintah sebetulnya bisa mendorong perekonomian nasional agar melaju lebih cepat. Sejak 2010, pertumbuhan ekonomi terus menurun, dan dalam empat tahun terakhir bisa dibilang stagnan di angka lima persen. Ekspor Indonesia sampai 2016 juga terus menurun.
Celakanya, surplus sektor nonmigas kian digerus defisit sektor minyak dan gas. Artinya, perbaikan iklim investasi di sektor nonmigas menjadi sebuah keniscayaan. Kawasan ekonomi khusus memiliki banyak keunggulan. Lokasinya tersebar di sekujur Nusantara dan berada di sentra-sentra produksi dan pusat-pusat pertumbuhan, selain berada dekat dengan pelabuhan.
Untuk bisa mengoptimalkan berbagai keunggulan, kawasan ekonomi khusus perlu modal awal yang cukup. Daerah jelas tak punya banyak uang dan tak bisa diandalkan menjadi motor penggerak. Pusat harus mengambil alih-turun tangan sebelum rencana besar itu berubah menjadi proyek mangkrak.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo