Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEMATIAN wartawan Kemajuan Rakyat dan Berantas News, Muhammad Yusuf, dalam penahanan di Lembaga Pemasyarakatan Kotabaru, Kalimantan Selatan, pada Ahad kedua Juni lalu, seharusnya bisa dihindari. Sedari awal, kasus yang terkait dengan sengketa pemberitaan tidak selayaknya masuk ranah pidana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Insiden tragis ini berawal dari pengaduan PT Multi Sarana Agro Mandiri, perusahaan kelapa sawit milik pengusaha Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam, awal tahun ini. Mereka menuding sejumlah berita yang ditulis Yusuf di dua portal beritanya telah mencemarkan nama mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sesuai dengan nota kesepahaman antara Kepolisian Republik Indonesia dan Dewan Pers, penyidik dalam kasus ini meminta pendapat Dewan Pers atas berita-berita Yusuf. Dalam pertemuan pertama pada akhir Maret lalu, Dewan Pers menilai bahwa dua berita itu menyimpan daif, antara lain, mengandung opini dan tidak berimbang. Mereka minta perkara jurnalistik ini diselesaikan dengan menempuh hak jawab dan pemuatan permintaan maaf saja.
Tak sampai sebulan kemudian, pada April, polisi datang lagi ke Dewan Pers dengan menunjukkan 21 berita Yusuf lainnya yang dimuat di kemajuanrakyat.co.id dan berantasnews.com. Kali ini Dewan Pers menyatakan berita-berita Yusuf tidak beriktikad baik karena dimuat berulang-ulang tanpa konfirmasi. Dewan Pers mempersilakan polisi memproses kasus ini di luar Undang-Undang Pers.
Rekomendasi Dewan Pers inilah yang kemudian digunakan polisi untuk menjerat Yusuf dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Yusuf dinilai melakukan pencemaran nama dan menyiarkan ujaran kebencian di dunia maya. Di sini Dewan Pers perlu dikritik: sebagai lembaga yang diberi mandat melindungi kebebasan pers, mereka seharusnya mengarahkan agar sengketa ini diselesaikan melalui jalur perdata saja.
Tapi, tentu saja, porsi terbesar kesalahan ada pada aparat penegak hukum. Begitu dinyatakan sebagai tersangka, Yusuf ditahan polisi sambil menunggu persidangan. Padahal pria 42 tahun ini punya riwayat penyakit yang cukup mencemaskan. Dia sempat mengeluh sesak napas dan menderita nyeri di dada disertai muntah-muntah.
Ketika sidang berjalan, permintaan istri Yusuf agar penahanan suaminya ditangguhkan juga ditolak jaksa. Sejak itu, kesehatan Yusuf terus memburuk. Pertengahan Juni lalu, Yusuf kembali mengeluh sesak napas. Empat petugas Lembaga Pemasyarakatan Kotabaru, tempat dia ditahan, sempat melarikannya ke rumah sakit, tapi terlambat.
Tak ada pilihan lain: polisi harus membentuk tim khusus untuk menyelidiki penyebab kematian Yusuf. Jika polisi bertindak defensif, bahkan cenderung pasif, misalnya dengan tidak segera melakukan autopsi terhadap jenazah Yusuf, publik bakal menduga ada udang di balik batu. Apalagi kini beredar dokumen mirip salinan visum yang menunjukkan banyak memar pada badan Yusuf. Ada juga video yang memperlihatkan pundak lebam seorang pria yang diklaim sebagai Yusuf. Riwayat kedekatan sejumlah polisi dengan perusahaan Haji Isam pun sudah luas diketahui. Keterbukaan dan kecepatan polisi menyelidiki apa sebenarnya yang terjadi akan menentukan bagaimana reaksi publik.
Kebebasan pers merupakan syarat mutlak berkembangnya demokrasi dan penghormatan terhadap nilai hak asasi manusia di Indonesia. Jurnalis yang melaporkan berbagai skandal dan pelanggaran punya peran penting jadi anjing penjaga untuk kepentingan publik. Kematian Yusuf mencoreng kebebasan pers di negeri ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo