Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dalam kurun 2023-2024, setidaknya ada 27 kasus pelanggaran kebebasan akademik di berbagai kampus.
Ada yang keliru dari cara berpikir negara, pemerintah, dan birokrasi kampus terhadap prinsip kebebasan akademik.
Prinsip kebebasan akademik diadopsi oleh Komnas HAM pada 2021 melalui dokumen Standar Norma dan Pengaturan Nomor 5 tentang Hak atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi.
KEMERDEKAAN di dunia akademik hadir melalui prinsip kebebasan akademik. Namun, di Indonesia, kebebasan itu tampaknya masih sebatas “utopia”. Kebebasan itu baru sekadar khayalan tanpa mampu diwujudkan dalam kehidupan nyata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembatasan akademik cenderung menjadi pemandangan yang jamak kita temukan. Baru-baru ini, berbagai peristiwa pembatasan akademik justru terjadi saat mahasiswa baru hendak menginjakkan kaki pertama kalinya di kampus. Kertas kosong mereka tentang kampus akan diisi dengan cerita betapa menyedihkannya kebebasan akademik itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah peristiwa terbaru yang memperlihatkan pembatasan kebebasan akademik itu ironisnya terjadi di bulan kemerdekaan RI. Pada awal Agustus, ada peristiwa intimidasi terhadap ketua Unit Kegiatan Mahasiswa Pengenalan Hukum dan Politik Universitas Andalas yang menyoroti dugaan korupsi dana kemahasiswaan.
Dari Yogyakarta, ada tindak kekerasan yang dialami anggota Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta dalam acara pengenalan kehidupan kampus bagi mahasiswa baru. Sedangkan dari Makassar, ada Rektor Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar yang mengeluarkan Surat Edaran Nomor 259 Tahun 2024, yang mewajibkan “izin tertulis” bagi setiap mahasiswa yang hendak menyampaikan aspirasi.
Berbagai peristiwa itu belum termasuk rangkaian pembatasan kebebasan akademik yang terjadi selama ini. Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA)—organisasi yang berfokus pada advokasi dan kampanye kebebasan akademik—dalam kurun 2023-2024 tercatat telah mendampingi 27 kasus pelanggaran kebebasan akademik1.
KIKA membagi pelanggaran tersebut ke dalam empat kategori. Pertama, serangan kepada mahasiswa. Teror ini terbentang hampir di semua wilayah republik ini. Kedua, problem insan akademik mengenai advokasi kebijakan publik. Dosen-dosen yang kritis dihadapkan pada dua hal: diintimidasi atau dirangkul oleh kekuasaan.
Ketiga, problem insan akademik yang berkaitan dengan advokasi masalah pengelolaan sumber daya alam. Kritik para akademikus terhadap perampokan SDA justru dihadapkan pada upaya kriminalisasi.
Adapun kategori keempat adalah problem integritas akademik dan polemik profesor abal-abal. Sampai saat ini, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi serta jajarannya enggan menjatuhkan sanksi tegas terhadap mereka yang mencoreng integritas akademik ini2. Celakanya, teror terhadap civitas academica dan masyarakat sipil terus-menerus terjadi tanpa ada upaya perlindungan serius dari negara.
Gagal Paham
Teror terhadap civitas academica yang tiada henti ini menandakan ada yang keliru dari cara berpikir negara, pemerintah, dan birokrasi kampus. Mereka “gagal paham” terhadap aspek fundamental dalam kehidupan kampus, terutama terhadap esensi pokok kebebasan akademik.
Padahal prinsip kebebasan akademik sudah sering kali dikampanyekan sebagai jantung perguruan tinggi. Profesor emeritus bidang kebijakan pendidikan tinggi dari University of Lincoln, Inggris, Terence Karran, pernah berkata, tanpa kebebasan akademik, mustahil tridarma perguruan tinggi dijalankan dengan baik.
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi pendidikan, UNESCO, juga telah mendefinisikan kebebasan akademik sebagai “hak atas kebebasan mengajar, kebebasan berdiskusi, kebebasan melakukan penelitian termasuk menyebarluaskan hasil-hasilnya, kebebasan menyatakan pendapat secara terbuka, kebebasan dari sensor institusional, dan kebebasan untuk berpartisipasi dalam keputusan-keputusan politik, baik di dalam maupun di luar institusi pendidikan”3. Karena itu, pembatasan dan sensor terhadap ekspresi civitas academica merupakan bentuk pelanggaran prinsip-prinsip kebebasan akademik.
Prinsip-prinsip kebebasan akademik sebagaimana yang disebutkan oleh UNESCO ini kemudian diintegrasikan ke dalam Surabaya Principle on Academic Freedom (SPAF), yang dideklarasikan oleh para akademikus, peneliti, dan pegiat HAM pada 2017.
Keberadaan SPAF menegaskan bahwa civitas academica memiliki kebebasan penuh dalam mengembangkan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, serta mempublikasikan hasil-hasilnya4. Aktivitas civitas academica tersebut harus bebas dari sensor serta pembatasan dalam rangka mengembangkan budaya akademik yang bertanggung jawab dan berintegritas demi kepentingan kemanusiaan5.
Karena itu, negara melalui pemerintah, termasuk birokrasi kampus serta otoritas publik lain, bertanggung jawab memastikan jaminan perlindungan atas kebebasan akademik civitas academica tersebut6. Prinsip-prinsip kebebasan akademik yang tertuang dalam SPAF ini kemudian diadopsi oleh Komnas HAM pada 2021 melalui dokumen Standar Norma dan Pengaturan Nomor 5 tentang Hak atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi7.
Kooptasi Kampus
Operasi pembatasan dan pembungkaman kebebasan akademik berangkat dari relasi kuasa yang diciptakan oleh kekuasaan. Kampus dikooptasi sedemikian rupa, hukum disandera untuk memperlicin proses penundukan kampus. Salah satunya dalam urusan pemilihan rektor, dengan memberi menteri hak istimewa berupa suara sebesar 35 persen dalam pemilihan.
Hak istimewa itu didesain dalam ketentuan Pasal 9 ayat 3 Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 19 Tahun 2017 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Pemimpin Perguruan Tinggi Negeri, sebagaimana diubah melalui Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 21 Tahun 2018. Dampak aturan ini adalah terbukanya ruang transaksional alias tawar-menawar antara calon rektor dan kekuasaan. Tentu saja, kita semua tahu, tidak ada makan siang gratis di dunia ini.
Ruang transaksional itu memperbesar peluang munculnya calon rektor yang menjanjikan “kesetiaan” kepada kekuasaan. Di sisi yang lain, menteri akan menjadikan porsi suara 35 persen ini sebagai alat kendali terhadap kampus melalui rektor terpilih. Jadi jangan heran jika para penerima manfaat suara 35 persen ini akan mengikuti semua selera subyektif kekuasaan sekaligus pasang badan terhadap keputusan apa pun yang dijalankan nanti.
Konsekuensi atas kondisi ini adalah civitas academica yang bersifat kritis terhadap kekuasaan harus bersiap menghadapi “teror”. Kebebasan akademik akan dipasung atas nama ketertiban kampus, etika akademik, dan sopan santun. Anehnya, pelaku teror kebebasan akademik itu tidak hanya datang dari penguasa, tapi juga dari dalam kampus sendiri, pihak yang seharusnya menjaga dan merawat kebebasan akademik.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
1 Kika.or.id
2 Ibid.
3 Ibid, hlm. 4.
4 Prinsip 2 Surabaya Principle on Academic Freedom.
5 Prinsip 4 Surabaya Principle on Academic Freedom.
6 Prinsip 5 Surabaya Principle on Academic Freedom.
7 Dokumen Standar Norma dan Pengaturan Nomor 5 Tentang Hak atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi ini dapat diunduh melalui tautan ini.
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.