Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menilai sebuah kebijakan publik bukan soal sulit. Dengan merujuk pada siapa yang dirugikan dan diuntungkan oleh sebuah peraturan, biasanya kepentingan di belakang beleid itu segera bisa diduga. Bila yang mendapat manfaat ternyata bukan orang ramai, kebijakan itu patut dipertanyakan. Bila masyarakat yang justru dirugikan, kebijakan itu malah pantas dicurigai.
Kecurigaan, tampaknya, patut diterapkan pada motif di belakang terbitnya Surat Keputusan Nomor 255/IV/2011 yang dikeluarkan Direktur Jenderal Perhubungan Udara. Akibat aturan baru itu, delapan perusahaan yang selama ini melakukan pemeriksaan keamanan atas kargo udara di Bandara Soekarno-Hatta tak lagi diperbolehkan melakukan pekerjaannya. Tugas mereka diambil alih tiga perusahaan baru yang diangkat Kementerian Perhubungan sebagai "agen inspeksi".
Akibat kebijakan ini, masyarakat pengirim kargo udara tiba-tiba mendapat kerugian. Biaya pemeriksaan, yang sebelumnya Rp 465 per kilogram, tiba-tiba melonjak jadi antara Rp 850 dan Rp 1.000 per kilogram, alias naik di atas seratus persen. Karena tata cara pemeriksaan boleh dikata tak berubah, kelebihan biaya itu pastilah menjadi bagian dari keuntungan tiga perusahaan baru yang memegang oligopoli bisnis ini. Belum jelas ke mana saja keuntungan itu dibagi-bagi, yang pasti masyarakat merugi.
Mengapa pemerintah mengambil kebijakan ini? Alasan resminya, demi meningkatkan keamanan masyarakat. Argumennya, untuk menghilangkan benturan kepentingan karena perusahaan lama tak independen. Sebagian besar merupakan operator penerbangan yang mengangkut kargo itu, maka mereka dikhawatirkan tak melakukan pemeriksaan serius demi melancarkan pengiriman muatannya.
Alasan ini sungguh tak masuk akal. Operator penerbangan pasti berkepentingan memastikan tak ada barang berbahaya dalam kargo yang mereka terbangkan. Bila terjadi ledakan atau kebocoran bahan berbahaya saat pesawat pembawanya sedang mengudara, operator penerbanganlah yang akan menderita kerugian besar. Mereka tak hanya buntung finansial, tapi juga hancur reputasinya, yang dapat berujung pada kebangkrutan.
Itu sebabnya perusahaan penerbangan seperti Garuda rela mengeluarkan uang untuk jasa audit keselamatan yang dilakukan perusahaan independen guna memastikan prosedur kerja para awaknya memenuhi standar keselamatan baku. Bukan hanya standar domestik, tapi juga internasional. Ini dilakukan antara lain karena kepentingan bisnis. Bila dinyatakan lolos audit, persepsi risiko perusahaan di mata pihak asuransi akan menurun, dan Garuda dapat menikmati biaya premium asuransi yang lebih rendah. Persepsi keamanan ini tentu akan menjadi daya tarik tambahan bagi para calon pelanggan.
Bandingkan dengan kepentingan tiga perusahaan yang kini menjadi agen inspeksi. Bila ada bom yang lolos dari pemeriksaan mereka dan meledak saat pesawat pembawanya mengudara, tak ada kerugian finansial bagi agen inspeksi ini. Memang pemerintah mungkin saja tak memperpanjang izin si agen setelah masa kerja per lima tahunnya berlalu, tapi itu bila terbukti kesalahan memang dilakukan sang agen.
Perihal membuktikan ini bukan soal mudah. Apalagi gudang para agen inspeksi terletak di luar bandara, dan mereka mungkin saja akan tergoda melempar tanggung jawab dengan berdalih bom itu masuk setelah kargo mereka serahkan ke agen penerbangan.
Masih banyak alasan lain untuk menunjukkan kebijakan Kementerian Perhubungan ini mencurigakan dan patut dibatalkan. Namun dua alasan di atas sudah lebih dari cukup. Kebijakan ini tak hanya merugikan masyarakat karena menambah biaya, tapi sekaligus memperbesar risiko keamanan penerbangan publik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo