Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dian Yudha Negara dan Randy Lester Samusamu sebenarnya tidak steril dari kesalahan. Dua karyawan perusahaan swasta yang ditangkap polisi November tahun lalu itu membeli iPad di Singapura, lantas menitipkan komputer tablet tersebut pada beberapa kerabat mereka yang juga dalam perjalanan pulang ke Jakarta. Dengan cara itu, mereka bisa melewati penjagaan imigrasi tanpa harus membayar pajak pemasukan barang elektronik mutakhir tersebut.
Kalau aparat hukum mau serius menindak, kedua penjual amatir lewat forum jual-beli Kaskus itu seharusnya dituduh melanggar Undang-Undang Nomor 17/2006 tentang Kepabeanan. Si pelanggar cukuplah dikenai sanksi berupa kewajiban membayar bea masuk yang terutang berikut dendanya—kalau dirasa perlu. Sayang, dari kasus Dian dan Randy ini, polisi dan jaksa sepertinya tidak berniat menimbulkan efek jera bagi praktek pelanggaran hukum yang kerap diterima sebagai kewajaran itu.
Anehnya, kedua instansi penegak hukum ini malah menjerat keduanya dengan dua dakwaan yang sangat gampang dipatahkan, yakni menjual perangkat elektronik bikinan Apple itu tanpa disertai buku panduan berbahasa Indonesia. Mereka dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Namun dakwaan ini sudah ditepis melalui penjelasan resmi dari Kementerian Perdagangan. Ternyata iPad belum termasuk produk yang harus memiliki manual berbahasa Indonesia.
Menjaring kedua terdakwa telah menggunakan produk yang belum resmi menjadi alat komunikasi di Indonesia, sehingga dinilai melanggar Undang-Undang Nomor 36/1999 tentang Telekomunikasi, rasanya juga salah alamat. Spirit diterbitkannya peraturan ini justru untuk menekan produsen dan distributor agar menjual produk yang berkualitas. Dengan kata lain, aturan yang berisi ancaman penjara maksimal lima tahun bagi setiap pelanggarnya ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen.
Karena itu, mendakwa keduanya dengan kedua undang-undang tersebut rasanya kurang tepat, bahkan berlebihan. Apalagi sampai menahan mereka selama dua bulan, sebagaimana dilakukan jaksa di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat—meski akhirnya ditangguhkan hakim. Mereka susah dibilang hendak melarikan barang bukti, yang faktanya sudah berada di tangan aparat dan sampai pula di meja hijau. Pantaslah orang lantas curiga mengapa polisi dan jaksa kelewat semangat membidik dan menahan mereka.
Aparat tentu punya tugas yang lebih penting ketimbang sibuk mengurusi perkara sejenis kasus Dian dan Randy ini. Daripada menangkap dua alumnus Institut Teknologi Bandung yang mencari tambahan penghasilan dengan menjual iPad itu, lebih baik sisir saja para distributor iPad, bahkan penjual komputer tablet yang ramai di mal-mal. Toh akhirnya Kementerian Komunikasi dan Informatika mengatakan iPad yang dijual Dian dan Randy telah disertifikasi.
Sebaiknya aparat hukum mengerahkan perhatian pada perkara-perkara berskala nasional yang ditakutkan akan berakhir tanpa kejelasan. Ingat saja kasus penyelundupan 30 kontainer BlackBerry dan minuman keras yang diduga melibatkan sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat, kaburnya tersangka korupsi dan penyuapan seperti Nunun Nurbaetie dan Muhammad Nazaruddin beserta istri ke luar negeri, kasus rekening gendut, mafia pengadilan, dan—yang terakhir—dugaan bahwa mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Komisaris Jenderal Ito Sumardi ikut kecipratan duit dari Nazaruddin.
Polisi dan aparat berwajib lainnya di zaman reformasi ini tidak akan pernah kekurangan perkara. Sudah saatnyalah mereka memperbaiki citra yang masuk jurang. Mereka kudu berani mengevaluasi dan mengoreksi prioritas operasinya—juga jangan sampai tebang pilih dan salah alamat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo