Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, melakukan penanaman
kedelai di Pekon Banjarmasin, Kecamatan Bukok, Kabupaten Tanggamus, Lampung, pada awal Juni 2023. Bersama Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan dan Gubernur Lampung Arinal, mereka bertekad mendongkrak produksi kedelai lokal.
Dalam kesempatan itu Syahrul Yasin Limpo menyampaikan, ketergantungan terhadap impor kedelai tidak boleh terjadi terus-menerus. Komitmen Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan menggenjot produksi kedelai di sepuluh provinsi patut disambut positif.
Mengutip Gubernur Lampung Arinal, kebutuhan kedelai dalam negeri saat ini mencapai 3,2 juta ton per tahun. Sementara produksi kedelai di Lampung sepanjang 2022 sekitar 1.750 ton. Melalui APBN 2023, pemerintah mengalokasikan bantuan stimulan benih kedelai bersertifikat dan saprodi untuk area seluas 5.000 hektare yang tersebar di sepuluh kabupaten/kota. Penanaman di Kabupaten Tanggamus ditargetkan seluas 190 hektare di sepuluh kecamatan.
Sebelumnya, pada 2021, Syahrul Yasin Limpo menyampaikan peningkatkan produksi nasional dengan melipatgandakan produksi dalam waktu 200 hari atau dengan dua kali masa tanam. Pada 2022, Syahrul Yasin Limpo mengusulkan tiga lapis kebijakan kedelai kepada Presiden Joko Widodo. Mulai dari larangan terbatas impor kedelai melalui fase penyediaan kebutuhan domestik sekaligus mengendalikan tata niaga.
Fase kedua melalui kebijakan temporer yang berfokus pada perluasan areal tanam mencapai 600 ribu hektare yang bersumber dari APBN. Hingga tahap keberkelanjutan, yaitu peningkatan produksi nasional pada 2023-2024.
Menurut pegiat komite pendayagunaan pertanian, Khudori, target swasembada kedelai sudah lama dicanangkan. Namun produksinya terus merosot dan stagnan. Luas area tanam kedelai pada 1992 mencapai 1,6 hektare merosot 40,8 persen menjadi 680 ribu hektare di 2018 dan produktivitasnya hanya 1,4-1,5 ton per hektare. Sebaliknya, keran impor kedelai transgenik Amerika terus mengisi 90 persen kebutuhan domestik.
Khudori menyebut kondisi ini sebagai politik pembiaran. Sebab, sudah sekian lama tak ada kebijakan pemerintah yang mengatur tata niaga kedelai. Sementara perlindungan terhadap keamanan hayati produk rekayasa genetik telah diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005.
Akankah tiga lapis kebijakan Mentan kali ini bisa terwujud? Atau dibutuhkan kebijakan penunjang lainnya hingga target swasembada kedelai dapat dicapai kembali.
Selanjutnya: Bangsa Tempe
Belum banyak yang tahu setiap 6 Juni adalah Hari Tempe Nasional yang ditetapkan oleh Forum Tempe Indonesia pada 2013. Hari Tempe Nasional bersamaan dengan hari lahir Presiden Soekarno. Hal ini merujuk pada pidatonya yang selalu diingat, "kita jangan menjadi bangsa tempe”. Pidato tersebut bertujuan memotivasi bangsa Indonesia agar jangan mau ditindas bangsa lain. Hal itu merujuk cara mengupas biji kedelai yang dinjak-injak sebelum difermentasi.
Dalam catatan sejarah, kedelai sudah dibudidayakan terutama di Jawa pada abad 12. Tak heran jika kedelai dan tempe telah menjadi bagian dari tradisi dan budaya. Kedelai hitam wajib hadir di keluarga Jawa dan menjadi bagian dari upacara kelahiran, khitanan, dan kematian. Studi Forum Tempe Indonesia menujukkan rata-rata orang Indonesia mengkonsumsi 7 kilogram tempe per tahun.
Publikasi mengenai kedelai dan tempe ditemukan dalam Serat Centini yang terbit pada abad 16. Disebutkan dalam kitab Jawa itu, hidangan "Jae Santen tempe dan Kadhele tempe srundengan”.
Dalam naskah lontar Sri Tanjung, tentang asal usul Banyuwangi, ditulis ulang Prijono 1938, disebut kedelai telah ditanam dalam kebun pertapaan bersama kacang hijau, tebu, ubi, dan talas. Dengan demikian, patut diduga sudah terjadi penguasaan teknologi peragian dan fermentasi kedelai menjadi tempe oleh nenek moyang kita, jauh sebelum Serat Centini dan Hikayat Sri Tanjung ditulis.
Buku The Book of Tempeh “A cultured Soyfood, karya William Shurtleff dan Akoko Aoyagi, terbit 1984, mengkonfirmasi bahwa tempe dari fermentasi kedelai merupakan karya asli Indonesia. Studi itu berisikan pengetahuan lokal membuat tempe, dilengkapi 130 resep tempe serta menyebut kedelai sebagai sumber protein masa depan.
William dan Akoko menyiapkan buku tempe ini dengan hati-hati dan riset mendalam, merujuk hasil penelitian ilmuwan Belanda pada 1875. Beberapa peneliti Jepang juga menulis ihwal pengolahan kedelai menjadi tempe seperti direkam oleh Nakazawa (1928) dan diikuti Nakano (1959).
Sejak 1984, tercatat beberapa perusahaan tempe di Eropa, Amerika, dan Jepang yang diduga berkembang melalui imigran asal Indonesia di Belanda. Di negara lain, seperti Selandia Baru, India, Kanada, Australia, Meksiko, dan Afrika Selatan tempe dikenal di kalangan terbatas.
Mengutip Forum Tempe Indonesia, masa kejayaan produksi kedelai lokal terjadi pada 1992, saat Indonesia berswasembada kedelai dengan produksi nasional sekitar 1,8 juta ton setahun. Badan Pusat Statistik menyebut impor kedelai sepanjang semester pertama 2020 mencapai 1,27 juta ton atau setara Rp 7,24 triliun.
Untuk memenuhi konsumsi harian, saat ini terdapat sekitar 81 ribu usaha tempe yang memproduksi 2,4 juta ton tempe pertahun (BSN, 2020). Data dari Koperasi Tahu dan Tempe Indonesia menunjukkan kebutuhan kedelai mencapai 2,2 juta ton per tahun dan hanya mampu menyerap 600 ribu ton kedelai lokal.
Sebagai bangsa tempe, penyediaan kedelai lokal belum mampu menjaga nilai strategis produk tempe di mana Indonesia merupakan pasar besar kedelai di kawasan Asia. Padahal, menurut Dadi Hidayat Maskar, Direktur Rumah Tempe Indonesia, nilai gizi tempe tak kalah dengan protein hewani. Indonesia sudah memiliki Standar Nasional Indonesia nomor 3144:2015 untuk pembuatan tempe higienis. Tempe adalah makanan sehat untuk dunia (Badan Standarisasi Nasional, 2018)
Selanjutnya: Pemuliaan Kedelai Lokal
Kurang lebih 80 varietas kedelai hasil pemuliaan telah dirilis pemerintah sejak 1918 hingga 2022. Didominasi jenis kedelai kuning (Glycine max L) dan hanya tercatat empat varietas kedelai hitam (Glycine soja L). Umumnya varietas kedelai lokal diberi nama-nama gunung di Indonesia, seperti sumbing, merapi, galunggung, merbau, raung, rinjani, dan lainnya. Namun sejak 2017, varietas kedelai yang dirilis tidak lagi menggunakan pakem yang sama seperti Varietas Deja1, Detap1, Dering2. Varietas Otau adalah jenis kedelai hitam yang dirilis pada 1918.
Benih kedelai hitam sempat mengalami kelangkaan, setelah varietas Cikuray dirilis pada 1992. Pada 2001, upaya pemuliaan kedelai hitam dari varitas yang tersisa di pengepul dan petani dilakukan melalui kerja sama PT Unilever Indonesia dan Fakultas Pertanian UGM. Saat itu diperlukan benih kedelai hitam dalam jumlah cukup tersedia untuk mengamankan pasokan bahan baku industri kecap berlambang burung bangau (YUI, 2007).
Melalui kerja sama itu, akhirnya dirilis varietas unggul nasional Mallika oleh Kementerian Pertanian melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 78 Tahun 2007 yang mengisi kekosongan varietas kedelai hitam selama 15 tahun.
Akademisi dari IPB dan Universitas Lampung mendukung upaya penanaman kedelai di Tanggamus, Lampung. Mereka mengklaim telah mengantongi inovasi teknologi budidaya melipat ganda produksi kedelai hingga 4,6 ton per hektare akan menjadi bagian kolaborasi meningkatkan produksi kedelai dengan targetnya 5-6 tahun mendatang.
Selanjutnya: kedelai dalam Pusaran Kebijakan
Ahli pertanian dan pangan IPB Prof. Dwi Andreas Santosa mengatakan, produksi kedelai Indonesia terus mengalami penurunan karena tidak dibudidayakan lagi dan dipicu faktor politik nasional dan internasional. Dalam Webinar Fenomena Krisis dan Titik Kritis Penyediaan Pangan yang diselenggarakan oleh Dewan Guru Besar IPB University pada Maret 2022, kondisi itu berawal dari penandatanganan Letter of Intent (LoI) International Monetary Fund (IMF) oleh Presiden Soeharto pada Januari 1998.
Letter of Intent International Monetary Fund itu mengharuskan Indonesia untuk menghapus peran pangan oleh Bulog, terutama dicabutnya monopoli impor pangan. Akibatnya, peran Bulog dalam mengelola pangan dibatasi, di samping larangan pemberian kredit likuiditas bagi Bulog.
Pada 2000, pemerintah Amerika Serikat sebagai produsen kedelai dunia mengeluarkan kebijakan GSM25 untuk importir Indonesia yang berpengaruh besar pada produk kedelai nasional. Kedelai impor Amerika harganya menjadi lebih murah (Rp 15 ribu per kilogram) dibanding kedelai lokal yang harganya Rp 25 ribu per kilogram. Dari situ, petani perlahan-lahan meninggalkan budidaya kedelai dan beralih ke komoditas lain. Pedagang pun memilih kedelai impor karena lebih murah.
Kebijakan tiga lapis Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo untuk mendongkrak produksi kedelai di sepuluh provinsi dapat memanfaatkan hadirnya Instruksi Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pengarusutamaan Keanekaragaman Hayati dalam Pembangunan Berkelanjutan. Instruksi presiden itu memerintahkan kementerian/lembaga, termasuk gubernur, bupati, dan wali kota di bawah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi mengkoordinasi dan mensinkronisasi pelaksanaan pengelolaan, pemanfaatan keanekaragaman hayati pada tingkat genetik, spesies, dan ekosistem di bidang pertanian.
Penanaman kedelai di Tanggamus Lampung diharapkan menjadi momentum untuk meningkatkan produksi nasional, sehingga dapat mengurangi ketergantungan terhadap kedelai impor. Semoga komitmen pemerintah kali ini serius dan tidak “esuk dhele sore tempe”.