Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KITA agaknya perlu belajar lagi tentang politik dari peristiwa traumatik dari Tumapel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepotong wilayah Jawa Timur ini meninggalkan sebuah cerita abad ke-13—mungkin fiktif, mungkin setengah fiktif—yang berlanjut dari mulut ke mulut, dalam pelbagai cara. Tokoh utamanya Ken Arok. Ada dalam lakon ketoprak, ada dalam naskah sandiwara (karya Muhammad Yamin, dari tahun 1951), ada juga sebagai novel, seperti Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer.
Bagiannya yang dikenal adalah cerita pembunuhan. Versi yang konvensional dimulai dengan Ken Arok yang membunuh Tunggul Ametung, kepala daerah Tumapel, dan kemudian menggantikannya sebagai penguasa. Arok merencanakan perbuatannya dengan baik. Ia memesan sebilah keris kepada Empu Gandring, seorang pandai keris yang piawai. Sebelum Gandring selesai dengan karyanya, Arok, yang hilang sabarnya, merebut senjata yang setengah jadi itu dan menikamkannya ke dada sang empu.
Sejak itu keris itu sebuah kutukan. Kelak Arok, setelah jadi penguasa, dibunuh anak tirinya, Anusapati. Kemudian Anusapati dibunuh saudara tirinya, Tohjaya. Dengan keris yang sama.
Takhta pun berganti-ganti penghuni. Sejarah Tumapel memperlihatkan kekuasaan tak pernah identik dengan raja yang berkuasa. Bahkan, sebelum zaman demokrasi yang penuh dengan ketidakpastian kini, kekuasaan adalah sebuah kehadiran yang tak pernah menetap dalam dan dari satu posisi subyek. Maka ia bisa menimbulkan cemas dan hasrat untuk menetap—hasrat membentuk dinasti, penjamin kontinuitas. Tapi orang berilusi jika tak melihat kontinuitas itu tak pernah benar-benar terjamin: kejayaan Mataram Sultan Agung tak dilanjutkan putranya, Amangkurat I, yang kalah menghadapi pemberontakan dan meninggal di pengungsian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kekuasaan tak pernah tanpa kegentingan. Tumapel menunjukkan kekuasaan sebagai kisah antagonisme yang tak kunjung mandek di satu titik. Foucault terkenal melukiskan konflik kekuasaan sebagai “satu-satunya drama” yang dipentaskan di “tempat” yang “bukan-tempat”, non-lieu—kisah benturan tanpa henti untuk memperoleh dominasi, silih berganti, dari mana-mana.
Novel Arok Dedes secara tak langsung menggambarkan itu: yang kita ikuti bukan hanya konfrontasi antara Ken Arok dan Tunggul Ametung. Pramoedya menunjukkan drama Tumapel lebih riuh-rendah dibandingkan dengan kisah yang lazim. Empu Gandring tak dihadirkan sebagai seorang tukang yang mengerjakan pesanan. Ia pemilik pabrik senjata yang aktif mengerahkan alat dan manusia untuk merebut takhta. Dalam Arok Dedes dilukiskan, untuk melawan kekuasaan Tunggul Ametung, empu itu bahkan membentuk “Gerakan Empu Gandring”.
Kekuasaan adalah keris. Tapi keris yang tak pernah selesai diraut—keris yang tak bisa lengkap dikuasai pendesainnya sendiri. Keris itu juga tak bisa dikaitkan dengan orang yang menyimpannya dalam warangka yang melekat di pinggang. Seperti ditampilkan hikayat Tumapel, keris adalah benda yang tak beralamat. Jika ia punya tempat (dununging duwung, dalam bahasa Jawa), tempat itu adalah konflik itu sendiri.
Dalam cerita yang acapkali disampaikan teater rakyat di Jawa, tragedi Tumapel dibentuk oleh paranoia dan dengan kekerasan—terus-menerus, berulang kali. Arok dimatikan Anusapati, Anusapati dibinasakan Tohjaya, Tohjaya dibunuh Ranggawuni. Kita bahkan bisa membaca sejarah dari Kitab Pararaton di abad ke-13 sampai Babad Tanah Jawi di abad ke-18 sebagai cerita panjang darah yang mengalir dalam politik.
Tapi demikian seramnya-kah politik sebagai perjuangan kekuasaan? Tak adakah gerak ke suatu keadaan tanpa konflik? Jika hanya keris yang berbicara, bukankah pada akhirnya yang tersisa hanya medan politik yang remuk redam—di mana bukan hanya perdamaian yang musnah, melainkan juga ruang bersama untuk saling percaya? Bisakah kita melanggengkan keadaan saling membohongi? Benarkah mustahil ada titik pertemuan? Bisakah manusia hidup bersama tanpa mengenal kebaikan (atau apa pun) yang universal?
“What is the destiny of the universal in our societies?”—itu juga pertanyaan Ernesto Laclau dalam Hegemony, Universality, Contingency: Contemporay Dialogues on the Left, sebuah diskusi antara Judith Butler, Laclau, dan Slavoj Žižek.
Pertanyaan-pertanyaan di atas bisa dianggap ekspresi untuk berharap, bahwa sejarah manusia bukanlah hanya drama gelap politik Tumapel. Sebab, mungkin saja masih ada yang universal—masih ada cinta—di antara kita. Kita bisa ingat, revolusi (atau reformasi) bukan semata-mata mengganti siapa yang berkuasa, tapi juga sebuah statemen, bahwa—untuk mengulang kata-kata Albert Camus—“aku berontak, maka kita ada”.
Setidaknya, kita—bukan hanya kami—belum mati.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo