Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tragedi kematian Seneca, filsuf Stoik, yang dihukum melakukan bunuh diri oleh Kaisar Nero.
Filsafat pengendalian diri yang bersekutu dengan kebengisan.
KETIKA dihukum membunuh dirinya sendiri, Seneca pergi ke pemandian. Di sana, seperti anak kecil, dia menyiapkan air wangi dan hangat dari perigi. Ia membenamkan diri hingga leher, lalu, dengan perlahan, ia meraba dan mengiris urat di kedua lengannya. Darah mengembang, tapi kematian tak datang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seneca lalu meminta Statius Annaeus, yang sudah lama dipercaya sebagai teman dan telah teruji terampil secara medis, mengeluarkan racun yang telah lama ia siapkan. Dia menenggak santau itu, tapi kematian tak juga datang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tubuhnya dingin. Organ-organnya seperti tak terpengaruh racun. Tak puas, ia merendam diri dalam penangas uap, untuk mempercepat pendarahan dan mengefektifkan kerja racun. Sambil menunggu uap bekerja, ia masih memerciki budak terdekatnya dengan air, semacam ritual persembahan kepada Jupiter, Sang Pembebas. Sebentar kemudian, ia tersedak lalu wafat. Ia dikremasi tanpa upacara pemakaman apa pun.
Demikianlah detik-detik kematian Seneca (4 SM-65 M), filsuf Stoik, sebagaimana dilukiskan Tacitus enam tahun setelahnya. James Ker mencatat drama kematian itu dalam buku The Deaths of Seneca (2009).
Adalah Kaisar Nero (37-68 M) yang pada akhir April tahun 65 M menghukum Seneca, mantan penasihatnya, dengan hukuman bunuh diri. Nero yang psikopat mencurigainya terlibat dalam konspirasi penggulingan kekuasaan.
Seneca menjadi tutor Nero sejak kaisar itu berusia 12. Ia semula berharap bisa mendidik Nero dengan ajaran Stoisisme, aliran filsafat yang mengutamakan pengendalian diri. Namun, sedari awal kekuasaan, Nero berdiri di atas manipulasi dan kebengisan. Ia naik takhta karena Agrippina, ibunya, mengecoh Kaisar Claudius untuk mengangkat Nero ketimbang anak kandungnya sendiri, Britannicus. Belakangan, ia membunuh Britannicus dengan racun. Nero juga membunuh istri dan ibunya. Ia membantai orang Kristen dan konon membakar habis Kota Roma sambil bermain musik.
Hubungan Seneca dengan Nero memunculkan satu pertanyaan mengenai hubungan filsafat dengan kekuasaan: bagaimana mungkin puisi, drama, filsafat, dan etika Stoisisme hidup bersama seorang brutal seperti Nero?
Bentuk pemerintahan Roma sepanjang satu abad terakhir, terutama sejak era Caligula, telah menunjukkan ciri-ciri otokrasi. Sebagai penasihat utama Nero selama lebih dari satu dekade, Seneca dengan patuh memenuhi kebutuhan sistem. Di sini, filsafat menyediakan penawar terhadap lingkungan istana kekaisaran yang toksik. Seneca menerbitkan pelbagai risalah selama 15 tahun di sisi Nero, membantu teman dan sesama senator dengan kerangka moral untuk menghadapi masa-masa sulit. Karyanya yang berjudul De Clementia (Tentang Mengampuni) dimaksudkan untuk mengajarkan kebaikan buat sang Kaisar.
Cotidie morimur, “kita mati setiap hari”, adalah ucapan Seneca yang masyhur jauh sebelum hari kematiannya. Kematian bukanlah “kejadian” di masa depan, melainkan proses yang sedang berlangsung. Dari sudut pandang sang filsuf, cara mati yang ia pilih melambangkan harga diri dan kemuliaan. Cara bunuh diri Seneca menyimbolkan kembalinya “luka keberanian bagaimana kebebasan mengembuskan napas akhirnya” yang lebih dulu dilakukan oleh negarawan republikan bernama Cato (95-46 SM). Cato memilih bunuh diri ketimbang hidup di bawah kekuasaan Julius Caesar.
Seneca memilih kematian dan melakukannya secara “authorial”: memilih orang-orang di sekitarnya untuk menyiapkan segala sesuatu agar ia mati dengan cepat dan nyaman. James Romm, yang memberikan pengantar pendek untuk penerbitan karya Seneca, How to Die: An Ancient Guide to the End of Life, menulis dengan membandingkan halusinogen, psikotropika yang menimbulkan efek halusinasi, dengan filsafat Stoa. Katanya, di masa kini, unsur halusinogen tertentu bisa digunakan untuk mengurangi penderitaan pasien kanker stadium akhir. Di masa Romawi, filsafat Stoa berguna menolong Seneca mengatasi kematiannya.
Dalam bukunya yang lain, On the Shortness of Life, Seneca menegaskan bahwa sesungguhnya tidak ada hidup yang singkat. Hidup sesungguhnya cukup dan penuh welas asih, sejauh kita bisa mengisinya dengan tindakan berarti. Yang membuat hidup singkat adalah manusia yang menyia-nyiakan hidup dengan kelakuan tak berguna.
Nero boleh saja menjatuhkan hukuman bunuh diri, tapi yang dilakukan Seneca adalah pilihan personal, bukan ekspresi politik. Miro scilicet ingenio ipsam mortem mortisque dolorem vertit sibi in magnam voluptatem, ia mentransformasi kematian dan kenyerian menjadi kenikmatan bagi dirinya sendiri.
Dengan itu, sebagaimana dikatakan Ker, ia seorang Stoik dalam pemikiran, tapi Epikurian dalam kematian.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kita Mati Setiap Hari"