Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA sebuah senja bertahun lalu, saya duduk di atap biara di Lembah Natrun, Mesir, bersama seorang rohaniwan Kristen Koptik. Saya memanggilnya Abuna Shedraq. Abuna adalah panggilan semacam romo dalam tradisi Katolik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jubah Abuna hitam, juga penutup kepalanya. Ada tato salib di atas urat nadi kirinya. Sudah beberapa tahun ia tinggal di sana: terisolasi, terkurung padang pasir, tanpa televisi, koran, radio, apalagi telepon seluler dan Internet.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Abuna dan belasan rekannya meneruskan tradisi menyepi yang sudah berlangsung selama hampir dua milenial. Sejak abad pertama Masehi, pendahulu Shedraq mendirikan beberapa biara di lembah itu untuk menghindari kejaran tentara Romawi dan penguasa zalim lain.
Mereka membangun tembok lima meter dengan pintu kayu kokoh berlapis. Sebuah bel digantung di atas gerbang untuk dibunyikan para tamu sebagai tanda mengetuk. “Pendahulu kami hanya membuka pintu untuk para kafilah yang kehabisan air dan ingin menimba dari sumur biara,” kata Abuna. Ancaman itu sudah lama hilang, tapi dinding tinggi itu tetap berdiri, sebagai pengingat bahaya dunia luar.
Senja itu, di atas biara, kami menatap cakrawala. Yang terlihat hanya padang pasir kecokelatan juga sejumput pohon zaitun.
Terkepung kekosongan padang pasir, tiba-tiba saya disergap kehampaan. Beberapa jam yang lalu saya masih terjebak lalu lintas Kairo yang bising, dan kini berada di tengah kehampaan yang menyerap semua suara.
“Apakah Abuna tidak takut kesepian?” tanya saya. Saya tak ingat benar jawabannya, tapi dia tersenyum dan menggeleng. Sebentar lagi gelap dan para pengunjung biara harus keluar. Pintu berat kembali ditutup dan kesunyian datang menyergap.
Pertanyaan saya mungkin terdengar konyol. Saya tidak bisa membedakan kesepian (loneliness) dan kesendirian (solitude). Dalam bahasa Indonesia, kesepian dan menyepi punya arti yang berbeda, meski keduanya dibentuk dari kata asal yang sama.
Mendefinisikan kesepian memang bukan perkara mudah. Daniel Russell, peneliti di Iowa State University, Amerika Serikat, mencoba membuat definisi. Katanya, “Kesepian ada saat hubungan yang kita miliki—jaringan sosial kita—tidak sesuai dengan harapan kita.” Di sana terasa ada keterasingan yang akut.
Namun kesepian tidak selalu hadir sebagai keterasingan seperti yang digambarkan oleh William Wordsworth dalam puisinya, “I wandered lonely as a cloud.” Kadang ia juga datang sebagai ketakutan luar biasa seperti dalam catatan Virginia Woolf dalam A Writer’s Diary. “Often down here I have entered into a sanctuary…; and always some terror; so afraid one is of loneliness.”
Belakangan, kesepian bukan hanya milik satu-dua orang. “Kesepian telah menjadi epidemi,” kata Fay Bound Alberti dalam bukunya, A Biography of Loneliness: The History of an Emotion. Alberti memulai bukunya tentang kesepian itu dengan mengutip cuitan The Economist di Twitter, “Loneliness is the leprosy of the 21st century.” Kesepian adalah wabah di abad ke-21.
Ini bukan hal baru, tentu saja. Lima puluh tahun sebelumnya, Paul McCartney sudah menulis lagu “Eleanor Rigby”. “All the lonely people. Where do they all come from?”
Mereka yang kesepian tidak hanya berada di Eropa dan Amerika Utara. Pada 2021, sebuah survei di Indonesia menunjukkan bahwa 98 persen responden merasa kesepian. Tentu ini berhubungan dengan pandemi Covid-19 yang membuat orang terkurung. Tapi sejumlah survei sebelum dan sesudahnya menunjukkan meningkatnya kesepian di Indonesia, meski angkanya tak setinggi itu.
“Neoliberalisme, tentu saja, bisa disalahkan atas kesepian,” kata Alberti. Kapitalisme melahirkan industrialisasi yang memicu urbanisasi. Ada yang tercabut dari akarnya, ada nilai-nilai komunal yang menipis karena hak pribadi menebal. Itulah yang melahirkan orang-orang kesepian seperti Eleanor Rigby di negara-negara maju, tapi tidak di negara berkembang seperti Indonesia.
Di Indonesia, kita mungkin bisa bersembunyi dari kesepian akibat perubahan ekonomi, tapi tidak dari kesepian yang muncul dari teknologi. Dalam gelombang digital, sekarang semua bisa tertular kesepian. Wabah kesepian yang ditulis oleh The Economist dan Alberti bisa dilihat di mana-mana.
Digitalisasi memberikan ilusi tentang kebersamaan. Kita sibuk menyapa, mengomentari, saling colek, menangis dan tertawa bersama, di dunia maya. Itu semua memberi ilusi terpenuhinya kebutuhan akan kebersamaan. Seolah-olah dengan semua kesibukan itu kita merasa bersama. Tapi ternyata ada rasa suwung yang muncul karena tak ada kebersamaan yang nyata.
Kesepian bukan sekadar reaksi kimia di dalam otak. Itulah kenapa Stephanie Cacioppo—neurosaintis dari University of Chicago, Amerika—berhenti memberikan obat kepada penderita kesepian, meski sempat berhasil mengusir kegundahan dalam otak mereka di awal eksperimennya. Satu-satunya cara untuk mengatasinya, menurut dia, adalah memiliki hubungan nyata. Pada akhirnya, kesendirian dan kesepian tidak jauh berbeda, meski tetap tak sama.
Tak jauh dari biara Abuna Shedraq, masih di Lembah Natrun, ada danau asin, tempat orang-orang di masa lalu memanen garam. Konon, kata natrium (garam) diambil dari nama lembah ini.
Salah satu fungsi utama garam Natrun adalah sebagai zat pengawet jenazah para firaun. Bukan hanya penguasa yang dimumikan, tapi juga anggota keluarga, pembantu, bahkan binatang peliharaan mereka. Bagi keluarga yang ditinggalkan, mendiang tak boleh kesepian saat bangkit dari kematian. Kelak.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Wabah Kesepian"