Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEORANG rektor yang baru dilantik mengucapkan terima kasih kepada rektor terdahulu dengan menyebutnya sebagai “rektor senior”. Dalam kesempatan lain, sebutan itu ditirukan oleh pejabat di bawahnya: ada “wakil rektor senior”, “dekan senior”, “wakil dekan senior”, hingga “ketua jurusan senior”. Bahkan ada pula sebutan “sangat, sangat senior” untuk seseorang yang sudah lama lengser dari jabatannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebutan-sebutan tersebut menunjukkan bekerjanya bahasa di dalam konteks kekuasaan, patronase, dan paternalisme yang telah mendarah daging dalam struktur birokrasi Indonesia. Situasi sosial tertentu memang bisa mempengaruhi pola kebahasaan. Sebutan “senior” juga memposisikan orang yang menjadi atasan sebagai bapak dan orang yang menyebutnya demikian sebagai anak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Watak paternalisme yang feodalistis ini sesungguhnya tak relevan dengan semangat reformasi birokrasi. Di samping menjadi penghalang terbesar untuk menyampaikan kritik dan menyuarakan ketidaksetujuan, sebutan itu menunjukkan bahwa pejabat dan mantan pejabat menjadi patron yang mesti diteladankan.
Untuk memahami beroperasinya bahasa dalam struktur kekuasaan, kita mendapat penjelasan dari Pierre Bourdieu (1930-2002). Dalam Language and Symbolic Power (1991), sosiolog Prancis tersebut menyatakan bahwa bahasa bukan sekadar sarana transmisi pesan, tapi, lebih dari itu, bahasa berfungsi sebagai instrumen atau mekanisme simbolik untuk memperoleh kekuasaan dan mempertahankan dominasi. Dalam konteks itu, kata-kata mendapatkan kekuasaan dari penuturnya, yang secara sosiologis menggambarkan cara hidup sebuah komunitas dan secara esensial memberikan pelayanan bagi tercapainya tujuan-tujuan praktis dan pragmatis.
Kamus Besar Bahasa Indonesia versi dalam jaringan secara gamblang memaknakan senior sebagai, salah satunya, “orang yang lebih dahulu dalam hal pekerjaan, pengalaman, dan sebagainya”.
Di Indonesia, di samping doktrin birokratis yang mempengaruhi pola kebahasaan, senior juga paralel dengan ungkapan khas militeristik. Dari tradisi militer pula kita acap mendengar jawaban “siap” ketika seseorang menyampaikan perintah atau permintaan tertentu. Ungkapan tersebut juga acap ditirukan dalam percakapan sehari-hari di tengah masyarakat. Tak ayal jika kita acap mendengar ucapan “siap, senior!” dalam percakapan sehari-hari.
Dalam bahasa Jawa, senior disebut juga sesepuh, yang dalam Kamus Bausastra antara lain dimaknakan sebagai “wis mateng”, “kang dianggep tuwa, dituwani”, sudah matang, dianggap sudah tua, dituakan. Dalam konteks kebudayaan Jawa, sesepuh tak selalu menandakan umur yang lebih tua. Jikalau ada orang yang relatif muda secara umur tapi memiliki kemampuan atau keterampilan tertentu dan lebih mumpuni, ia layak disebut sesepuh atau yang dituakan.
Dalam perspektif Bourdieu, kata senior juga terkait dengan gagasan kapital sosial. Kapital sosial merujuk pada jaringan hubungan sosial yang dimiliki seseorang dan senior dapat menyiratkan adanya akses ke jaringan yang lebih luas dan berpengaruh. Misalnya, seseorang yang dianggap sebagai senior dalam suatu profesi atau komunitas mungkin memiliki akses yang lebih mudah ke peluang kerja atau sumber daya lain. Penggunaan kata senior dapat memperkuat ketidaksetaraan sosial dan privilese yang melekat pada mereka yang dianggap senior.
Michel Foucault dalam The Archeology of Knowledge and the Discourse on Language (1972) menjelaskan bahwa bahasa juga alat kekuasaan yang digunakan untuk membentuk realitas sosial. Penggunaan kata senior dapat dilihat sebagai bagian dari permainan kekuasaan dan konstruksi sosial.
Foucault menekankan pentingnya peran bahasa dalam membangun dan mempertahankan sistem kekuasaan. Dengan demikian, penggunaan kata senior membantu memperkuat struktur hierarkis di masyarakat. Kata itu menciptakan perbedaan dan hierarki antara mereka yang dianggap senior dan yang bukan. Dalam konteks ini, senior menghasilkan representasi kuasa dan mempengaruhi cara individu memahami dan berinteraksi dengan dunia di sekitar mereka.
Di sisi lain, Foucault menggariskan bahwa bahasa juga tempat perlawanan dan transformasi. Individu dapat menggunakan bahasa untuk menantang atau meruntuhkan struktur kekuasaan yang ada. Dalam hal ini, ada potensi bahwa penggunaan kata senior juga dapat menjadi subyek perdebatan dan perubahan sosial. Misalnya, melalui gerakan kesetaraan atau advokasi, istilah senior dapat digantikan atau dikritik untuk menghadirkan pendekatan yang lebih inklusif atau egaliter.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Senior"