PERNAHKAH Kristus ketawa? Pertanyaan ini mendekam di suatu musim salju abad ke-14, di sebuah biara yang agak tersisih, di wilayah Italia. Pertanyaan ini pertanyaan utama dalam ll nome della rosa, novel yang kini termasyhur dan mengambil latar Abad Tengah Eropa itu. Diterjemahkan dalam bahasa Inggris pada tahun 1983, dan kian memikat banyak orang, kisah ini ditulis oleh Umberto Eco seorang filosof dan sejarawan, yang, dengan hati ringan, dan plklran yang cerdlk, mengambil model satu cerita detektif. Ya, pernahkah Kristus ketawa? Jawabannya, agaknya, tak pernah. Mungkin kita teringat akan lukisan Rouault yang termasyhur tentang penyaliban itu. Dengan kontur gelap, Rouault menampilkan Yesus yang merunduk di bawah mahkota duri: "la ditindas dan disewenang-wenangi, dan ia tak membuka mulutnya". Atau kita ingat bahwa para nabi dalam riwayat bangsa Yahudi adalah tokoh-tokoh bersih yang mencerca kebobrokan, dengan amat serius. Namun, adakah itu berarti Tuhan dan rasul-rasul-Nya menolak humor, mengharamkan canda dan permainan? Kisah yang diceritakan oleh Eco berlangsung di suatu masa yang gawat. Gereja tengah tersangkut sengketa dan diguncang berbagai gugatan. Waktu itu tahta paus berpindah dari Roma ke Avignon, tepatnya ketika Paus Yohannes XXII berkuasa, antara 1316 dan 1334. Yohannes XXII seorang paus yang kontroversial. Paderi Prancis yang dipilih di Kota Lyons dalam usia 72 tahun ini, dalam sejarah, memang tercatat sebagai pak tua yang otokratis, tegar, penegak disiplin dan kepatuhan. Dalam novel Il nome della rosa, ia hadir jauh di latar belakang: sebuah peran yang membayang- bayangi suatu zaman, ketika wibawa agama, terutama institusi-institusinya, sedang goyah. Goyah, karena di hadapan gemerlapnya kekayaan Gereja berdiri para anggota Ordo Fransiskan, yang mengimbau kembali ke kemurnian Kristus yang miskin. Sementara itu, di hadapan klaim bahwa Gereja adalah kuasa yang memberikan hukum ke seluruh Dunia Kristen, berdiri para raja: mereka ingin bebas dari Tahta Suci, yang mengontrol mereka atas nama Tuhan. Yohannes XXII, seperti para paus sebelumnya, ingin memulihkan kembali hak dan previlese Gereja. Sengketa pun tak terelakkan. Ia menghukum bakar sejumlah penganjur kemlskman, dan ia menentang penobatan Ludwiq, hertog Bavaria, sebagai maharaja Jerman. Tapi musuh-musuhnya tetap bertahan, dan alasan-alasan teologis pun dihantamkan balik kepadanya. Maka, mana yang di jalan benar, mana yang tidak, seakan kian rancu. Tapi tentu saja, di tengah permusuhan itu di sana sini ada usaha untuk berunding dan bicara. Dalam fantasi Umberto Eco, suatu hari, sebuah pertemuan antara pelbagai kubu itu direncanakan di biara yang tak disebut namanya di wilayah Italia itu - tempat berlangsungnya kisah ini. Ke sanalah dikirim seorang paderi Fransiskan dari Inggris. Ia diiringi seorang anak calon rahib dari Jerman, sang "aku" dalam Il nome della rosa. Mereka harus mempersiapkan sidang besar itu. Tapi di biara itu, pertama-tama yang mereka temui ialah sederet kejadian yang mencengkam: berturut-turut, empat orang rahib tewas tanpa sebab yang jelas. Maka, jadi tugas paderi orang Inggris yang bernama William Baskerville itulah untuk memecahkan teka-teki kematian yang meresahkan itu. Umberto Eco tampaknya memilih tokoh ini dengan teliti untuk novelnya. Namanya mengingatkan klta kepada cerita Sherlock Holmes yang terkenal itu, Anjing Setan dari Baskerville. Ia orang Inggris yang pragmatis dan pengagum semangat keilmuan Francis Bacon - semangat yang membekalinya dengan kekebalan terhadap takhyul. Dengan kata lain, ia tokoh van- tepat untuk seorang detektif, juga pembawa suara abad modern yang masih sayup-sayup. Dalam semangat itulah ia mempersoalkan pernahkah Kristus ketawa. Ia sendiri menjawab tidak. Meskipun demikian, ia, seorang pembawa pikiran bebas di Abad Tengah ketika Eropa sedang mencoba bertahan dari kegoyahan iman - membela pentingnya rasa humor, canda, permainan karena itu baglan sah dari hidup sebagai rahmat Tuhan. Dengan serta-merta ia melawan tokoh )ahat dalam novel ini: rahib buta Jorge, yang mengutuk lelucon atas nama rohani yang teguh. Di zaman ketika wibawa agama goyah, hidup dalam agama tampaknya jadi laku yang tegang. Jorge jugalah sebenarnya yang menyebabkan kermatian para rahib itu. Ia bukan saja menyembunyikan dua buku tentang humor dalam perpustakaan biara yang dijaga dengan hantu-hantu buatan ia juga melumurkan racun ke beberapa halamannya. Dan bagi William, dia itulah justru Sang Iblis. Sebab, baginya, seperti diucapkannya dalam perpustakaan yang jadl gelap di akhir buku ini, "Sang Iblis adalah kecongkakan rohani, iman tanpa senyuman, kebenaran yang tak pernah diterkam oleh pikiran ragu." Tentu saja, seperti dalam tiap cerita detektif, 11 nome della rosa berakhir dengan kematian Sang Iblis. Tapi, seperti ditunjukkan terus oleh zaman kita sendiri, kita ragu adakah kegelapan itu, kemuraman iman Jorge itu, pernah musnah benar-benar. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini