Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Keteladanan Mbah Dim

"Ma la yudraku kulluh, la yutraku kulluh." Kaidah ushulfiqh inilah yang menjadi pedoman Mbah Dim, juga para kiai lainnya.

20 Juni 2022 | 05.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
KH Dimyati Rois. Dok.NU

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mautul 'alim, mautul 'alam. Demikian kita diingatkan. Bahwa wafatnya seorang alim sama halnya dengan kematian semesta. Karena ilmu adalah cahaya (nur), penerang kehidupan. Allah tidak akan mencabut ilmu dari muka bumi kecuali dengan mewafatkan ulama-Nya yang dicintai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam satu bulan terakhir ini kita benar-benar berduka. Kita kehilangan ulama teladan. Tepat dua pekan setelah Buya Syafii Maarif berpulang, menyusul kemudian KH Dimyati Rois—Mustasyar PBNU dan Ketua Dewan Syura DPP PKB—kembali ke hadirat-Nya, pada Jumat dini hari (10/6).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya masih terngiang “dawuh” KH Maimoen Zubair. Bahwa yang wafat pada hari Jumat termasuk golongan wali. Kalau meninggal hari Selasa itu termasuk ulama.

Gus Mus—Mustasyar PBNU KH Mustofa Bisri—menyebut Buya Syafii sebagai wali. Kewaliannya, menurut Gus Mus, karena sikap istiqamah yang selalu terjaga. Buya Syafii istiqamah menjadi guru bangsa, istiqamah menjadi teladan umat, dan istiqamah dalam akhlaqul karimah.

Kewalian

Di lingkungan nahdliyin, cerita tentang kewalian KH Dimyati Rois atau biasa disapa Mbah Dim, juga sudah tak asing lagi. Jika Buya Syafii termasuk wali dari kalangan modernis, mungkin Mbah Dim digolongkan “wali tradisionalis”.

Kewalian Mbah Dim, menurut cerita yang berkembang, karena memiliki ilmu hikmah, penglihatan “mata batin” yang tajam. Juga kesaktian. Sejak muda, ketika masih “nyantri”, Mbah Dim memang ahli tirakat dan riyadlah, laku batin, atau penempaan diri.

“Awakmu kudu wani rekoso nek kepingin ilmumu barokah!” Demikian pesannya. Kamu harus berani hidup susah kalau ingin ilmumu berkah. Mbah Dim juga dikenal “weruh sak durunge winarah”, bisa mengetahui sesuatu sebelum diberi tahu.

Paman saya, KH Subromalisi (Mustasyar PCNU Wonosobo) menceritakan. Pernah, suatu ketika, saat tengah rehat di sebuah acara NU, Mbah Dim tampak sedang tidur pulas. Dia tidak tahu kalau yang sedang tidur itu adalah Mbah Dim. “Siapa orang hitam ini koq malah enak-enakan tidur,” bisiknya dalam hati. Tak terucap sama sekali.

Tak lama kemudian, setelah Mbah Dim bangun, dipanggillah Kiai Subro yang duduk tak jauh dari posisinya. “Sini kiai, ngobrol sama orang hitam,” panggilnya. Sontak, Kiai Subro pun kaget. Tentu malu juga.

Mbah Dim yang berpostur tinggi gempal itu, saat muda atau sebelum jatuh sakit, kulitnya memang agak gelap. Maklum, Mbah Dim termasuk pekerja keras. Pengusaha juga. Usaha pertanian dan tambak diurusnya sendiri. Jadi tiap hari sudah terbiasa berpanasan di bawah terik matahari.

Cerita lain, dari alm. KH Muzakki, Kongsi, Wonosobo. Dia termasuk santri senior pesantren APIK Kendal, tempat di mana Mbah Dim juga “nyantri” dan kemudian dijodohkan dengan putri pengasuhnya, KH Ibadullah Irfan. Mbah Dim sering datang ke pesantren Kiai Muzakki untuk mengisi pengajian. Apalagi jika Haflah Akhir Sanah, Mbah Dim selalu menjadi pembicara utamanya.

Saat awal pendirian PKB, akhir Juli 1998, Kiai Muzakki langsung sowan Mbah Dim untuk berkonsultasi. Tentu masalah politik. Dalam soal ini, Mbah Dim memang kiblatnya. Selalu menjadi rujukan utama. Kemudian, dia pun memberanikan diri bertanya: untuk Wonosobo nanti bagaimana? Maksudnya, siapa yang akan memimpin partai baru itu. “Yang akan jadi ketua namanya Idham Cholid,” tegas Mbah Dim.

Kiai Muzakki kaget. Heran juga tentunya. Siapa dia, karena belum pernah dengar namanya. Yang dia tahu adalah KH Idham Chalid, yang dulu menjadi Ketua Umum PBNU paling lama itu. Apa ada orang Wonosobo yang namanya sama dengan tokoh NU yang sangat melegenda tersebut, pikirnya.

Saya yang baru kembali ke Wonosobo pada akhir 1997, setelah 8 tahun di Jombang, memang belum dikenal luas. Apalagi di kalangan kiai. Mungkin juga, Kiai Muzakki atau yang lain mengira kalau ketua partai harus kiai. Karena PKB didirikan oleh para kiai. Sedang saat itu saya baru selesai kuliah, umur pun baru 28 tahun.

Dua bulan kemudian, setelah pelantikan pengurus PKB Wonosobo pada akhir September 1998, saya baru sowan Kiai Muzakki, yang juga masuk jajaran Dewan Syura PKB. Dia ceritakan semua. “Ternyata sampean, saya sudah dengar dari Mbah Dim sejak awal PKB berdiri,” katanya.

Padahal, menurut Kiai Muzakki, kepengurusan PKB Wonosobo sendiri baru dibahas dan dipersiapkan susunan personelnya pada bulan Agustus. Satu bulan setelah Deklarasi Ciganjur, 23 Juli 1998.

Keramat

Cerita tersebut merupakan bagian kecil saja dari kelebihan Mbah Dim. Orang menyebutnya karamah, atau keramat. Tentu masih banyak hal lain. Namun, karamah Mbah Dim justru pada kemuliaan pribadinya: ramah, pemurah, sabar dan istiqamah.

Saya akhirnya tak hanya mendengar cerita tentang Mbah Dim. Saya bisa melihat langsung sosoknya. Saya bisa mendengar petuahnya yang selalu sarat makna. Saya juga merasakan keramahan, kemurahan, dan kesabarannya, dengan sepenuh cinta.

Saat menjadi pengurus PKB, sejak akhir 1998, tak terhitung lagi berapa kali saya sowan Mbah Dim. Baik sendiri, bersama pengurus yang lain, maupun ketika membersamai para “petinggi” seperti Dr Alwi Shihab, dll, selalu saja wejangan keteladanan yang kami dapatkan. Pun ketika sowan terakhir pada 2021 yang lalu. Pesannya, jangan berhenti berjuang. Dimana pun. Sampai kapan pun!

Mbah Dim adalah kiai yang selalu membuka diri. Rumahnya terbuka untuk siapa saja. Tamunya selalu berdatangan dari pelbagai kalangan. Tak hanya pejabat. Rakyat biasa, bahkan preman sekalipun, datang untuk meminta nasihat dan doanya.

Siapapun akan merasa dihargai. Setiap tamu yang menyampaikan keluhan, didengarnya dengan sabar. Setelah jelas permasalahannya, Mbah Dim baru memberikan wejangan. Petuahnya selalu mengena. Solutif. Bahkan ketika ada yang malu mengungkapkan unek-uneknya, Mbah Dim kemudian menyampaikan cerita dengan bahasa sederhana, sesuai kapasitas tamunya. Dari cerita itulah sang tamu lalu bisa menemukan solusinya sendiri.

Siapapun yang datang, tak pernah dibedakan. Dalam memuliakan tamu, Mbah Dim harus ditiru. Jamuan yang disuguhkan sama. Semua tamu yang datang, baik pagi, siang maupun malam, disuguhinya makan. Mbah Dim selalu menemani dengan penuh keramahan.

Selain itu, yang sangat khas dari Mbah Dim tentu kesederhanaannya. Kita bisa lihat pada tampilan keseharian. Selalu memakai sarung. Sering berkaos oblong putih, bersandal jepit karet. Kalaupun berpakaian, dengan baju koko warna putih juga. Sesekali tampak “wah” ketika mengenakan batik, tetapi juga tidak mewah.

Sebagai pengasuh pesantren, keistiqamahan Mbah Dim dalam mendidik para santri haruslah diteladani. Mbah Dim tak pernah melewatkan waktu untuk selalu mengajar dan mendidik para santri.

Pengasuh Pesantren Al-Fadlu wal Fadhilah, Kaliwungu Kendal, itu memegang teguh prinsip bahwa keteladanan harus diutamakan. Memang, demikianlah karakter pendidikan pesantren. Mbah Dim tidak akan mengajarkan sesuatu yang tak pernah dikerjakannya.

Karena, menurut Mbah Dim, pendidikan bukanlah sekadar pengajaran. Di sini, kiai adalah guru yang tidak sekadar mentransfer ilmu. Guru, dalam arti yang sederhana, harus bisa “digugu dan ditiru”; didengar petuahnya, diteladani perilakunya. Dalam soal ini, Google dijadikannya pembanding.

“Jika anda menjadi guru hanya transfer pengetahuan, akan ada masanya di mana anda tak lagi dibutuhkan. Karena Google lebih cerdas dan lebih banyak tahu daripada anda. Namun jika anda menjadi guru juga mentransfer adab, ketaqwaan dan keikhlasan, maka anda akan selalu dibutuhkan. Karena google tak punya itu semua,” jelasnya penuh makna.

Pejuang dan pengayom

Mbah Dim termasuk jajaran kiai sepuh yang disegani. Di NU, kiai sepuh selalu menjadi rujukan baik dalam urusan organisasi, politik, keumatan, maupun persoalan kebangsaan. Apalagi yang berkaitan dengan masalah keagamaan.

Oleh Gus Mus, Mbah Dim disebut sebagai pejuang dan pengayom. Ada pula yang menyebutnya “kiai politisi” karena Mbah Dim memang aktif berpolitik. Baik ketika NU menjadi partai, di PPP, maupun di PKB hingga akhir hayatnya.

Meski aktif berpolitik, Mbah Dim bukan sekadar politisi. Saya menyebutnya pejuang politik. Tentu beda. Jika politisi lebih banyak berjuang untuk meraih posisi, bahkan tak jarang dengan segala cara pun dilakukan. Tapi pejuang politik senantiasa mencurahkan hidupnya untuk perjuangan politik. Bukan sekadar untuk kepentingan pribadi.

Dalam proses kelahiran PKB, misalnya, perjuangan Mbah Dim sangat nyata. Meski tak pernah di-publish sebagai pendiri, seperti juga KH Cholil Bisri, Rembang, Mbah Dim termasuk yang aktif menggalang dan menggerakkan para kiai dan politisi NU, menginisiasi lahirnya PKB.

Mereka diidentifikasi sebagai “faksi Rembang”, merupakan sayap kultural NU. Di dalamnya, tergabung para politisi senior seperti Matori Abdul Djalil, Imam Churmain, Amru Al-Mu'tashim, juga Irham Abdurrohim, yang saat itu masih berkiprah di PPP. Faksi ini pula yang memperjuangkan Matori sebagai Ketua Umum PPP pada Muktamar 1994 tetapi dikalahkan oleh Ismail Hasan Metarium yang mendapat “restu” pemerintah.

Sementara sayap struktural adalah yang aktif dalam kepengurusan NU. Kita tahu, pembentukan PKB memang difasilitasi oleh PBNU dengan membentuk Tim Lima yang dipimpin KH Ma'ruf Amin, Rais Syuriyah PBNU saat itu. Jika kemudian Matori yang dipilih menjadi Ketua Umum PKB, tentu bukan merupakan kompensasi atas kekalahannya tersebut.

Pertimbangan obyektif, karena Matori dinilai paling senior. Sudah malang melintang dalam percaturan politik. Tahan banting. Selain juga punya kedekatan dengan Gus Dur, “penentu” arah kebijakan NU. Meskipun pada akhirnya kedua tokoh itu berseberangan dan menempuh jalan politik berbeda.

Dengan Mbah Dim, Matori juga sangat dekat. Sejak masih di PPP, juga saat memimpin PKB, Matori menempatkan Mbah Dim sebagai “guru spiritual”-nya. Mbah Dim pun kemudian dinilai selalu membela Matori. Saat dia dipecat dari Ketua Umum PKB, bahkan ketika mendirikan PEKADE (Partai Kejayaan Demokrasi), Mbah Dim juga berdiri di belakangnya.

Kalau harus diberikan alasan, menurut saya, pembelaan tersebut justru merupakan “konsistensi” Mbah Dim sebagai kiai sepuh yang memang harus selalu mengayomi. Ini bukan semata soal politik kepentingan, tetapi pengayoman. Apalagi di dalamnya tak sedikit kader NU, juga berjuang dengan “ideologi” ke-NU-an.

Buktinya, saat pecah konflik pada Muktamar PKB di Semarang (2005), kemudian para kiai menggelar Muktamar sendiri di Surabaya pada 2006, Mbah Dim juga hadir langsung, memberikan dukungan.

Demikian pula keterlibatannya di DPP PKB, dengan menjadi Ketua Dewan Syura, haruslah dipahami sebagai manifestasi keteladanan kiai. Bahwa keutuhan dan kedamaian harus diutamakan. Memang PKB belum sepenuhnya sempurna sesuai harapan. Tapi ia masih bisa diharapkan.

“Ma la yudraku kulluh, la yutraku kulluh.” Kaidah ushulfiqh inilah yang menjadi pedoman Mbah Dim, juga para kiai lainnya. Bahwa apa yang tak mungkin terwujud seluruhnya, maka jangan tinggalkan yang terpenting di dalamnya.

Kalisuren, 18 Juni 2022

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus