Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Teror kepala babi untuk Tempo dikirim untuk menciptakan pers yang takut.
Pers yang takut memberi peluang kekuasaan menjadi korup.
Negara demokratis memerlukan pers yang bebas dan independen agar publik tetap menjadi pemberi mandat kekuasaan.
PAKET kepala babi dan satu kardus bangkai tikus dengan kepala terpenggal yang kami terima dalam sepekan terakhir adalah teror yang tak main-main. Dalam sejarah Tempo, baru kali ini intimidasi memakai makhluk hidup yang dibunuh untuk menciptakan ketakutan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kantor kami pernah dilempar bom molotov, diserang sekelompok orang, digeruduk massa yang tersinggung oleh karikatur, tapi baru kali ini peneror memakai potongan bangkai hewan untuk menakut-nakuti. Selain pengecut, cara ini tak bermoral karena menciptakan ketakutan dengan membunuh makhluk hidup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua kiriman bangkai hewan itu punya pesan yang sama. Potongan kepala babi itu tidak utuh. Dua telinganya dipotong dengan rapi. Setelah kami menerima paket itu, seseorang mengirim pesan melalui akun Instagram ofisial Tempo bahwa ia akan terus mengirim teror karena menganggap kami tak mau mendengar kritik.
Maka teror kedua tak lagi melalui paket yang dikirim kurir aplikasi pengiriman barang. Seseorang melempar kardus yang dibalut kertas kado bermotif mawar merah yang berisi enam bangkai tikus dengan kepala dipenggal. Enam adalah jumlah host Bocor Alus Politik, siniar liputan Tempo di YouTube. Babi dan tikus adalah dua hewan yang acap jadi simbol kebusukan dan kejahatan.
Masalahnya, kritik yang mana? Pada hari pengiriman paket kepala babi, Rabu, 19 Maret 2025, sejumlah orang berdemonstrasi ke Dewan Pers menuduh Tempo sebagai agen asing yang hendak memecah belah Indonesia. Mereka menganggap liputan-liputan investigasi Tempo tentang skandal korupsi dan politik, penyalahgunaan kekuasaan, serta pelemahan demokrasi sebagai upaya mengadu domba rakyat Indonesia dengan pemerintah.
Bukan kebetulan jika narasi media pemecah belah adalah narasi Presiden Prabowo Subianto dalam peringatan Hari Pers Nasional ke-79 pada 9 Februari 2025 dan pidato ulang tahun Partai Gerindra pada 15 Februari 2025. Menurut Prabowo, suatu saat akan terkuak media yang dibiayai kekuatan asing untuk menghasut dan memecah belah rakyat Indonesia.
Siapa pun pengirim kepala babi dan bangkai tikus itu, bagian dari kekuasaan atau sekadar memperkeruh keadaan untuk memancing saling curiga, adalah dia atau mereka yang tidak memahami kerja wartawan. Pers didirikan untuk menjadi penyeimbang kekuasaan. Karena itu, media sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi, setelah kekuasaan eksekutif, yudikatif, dan legislatif.
Tiga pilar lain punya kekuasaan, sumber daya, dan sumber dana. Karena itu, sejarawan Inggris, Lord Acton (1834-1902), mengatakan kekuasaan cenderung korup. Untuk mencegahnya, sebuah negara demokratis memerlukan pers yang bebas, kuat, dan independen.
Sejak didirikan pada 1971, kredo Tempo adalah menjadi media yang tak memihak satu golongan, jurnalisme yang tidak menjilat atau menghamba. Jurnalisme Tempo adalah jurnalisme yang berpihak kepada kepentingan publik. Jika Tempo mengkritik, mengajukan usul, atau mendebat kebijakan pemerintah, hal itu semata-mata karena menjalankan tugas konstitusi mencegah penyelewengan-penyelewengan kekuasaan.
Dalam demokrasi yang sehat, lembaga eksekutif, legislatif, serta yudikatif seharusnya saling mengoreksi dan mengawasi. Namun Indonesia hari ini adalah republik dengan penguasa yang main mata. Alih-alih mengoreksi kebijakan lembaga eksekutif, Dewan Perwakilan Rakyat menjadi kepanjangan tangan pemerintah. Lembaga yudikatif menjadi alat penguasa untuk memukul lawan politik. Hukum pun menjadi tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Pers yang bebas dan independen menjadi harapan publik agar tetap menjadi pemberi mandat kekuasaan kepada alat-alat demokrasi itu. Jika pers membebek dan tunduk pada kekuasaan, publik akan kehilangan kontrol atas pemerintah yang punya segalanya untuk mengeruk kekayaan alam negara ini. Pers yang takut membuat pemerintahan menjadi korup.
Karena itu, kami tidak takut terhadap teror kepala babi dan tikus yang dipenggal itu. Bukan karena kami pemberani, melainkan karena ada hal yang lebih besar dibanding rasa takut, yakni melindungi hak publik mendapatkan informasi yang kredibel, utuh, dan bertanggung jawab. Teror terhadap pers yang independen merupakan satu tahap menuju Indonesia bubar. Kita harus bersama-sama melawannya. ●