Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Ketika Ongen Mencuit Papa

Yulianus Paonganan ditangkap polisi dengan tuduhan menyebarkan pornografi di Twitter. Selayaknya polisi tidak berlaku lajak.

28 Desember 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH ditangkap di rumahnya pada dinihari, Rabu dua pekan lalu, Yulianus Paonganan langsung ditahan di Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI. Kesalahannya, mengunggah foto yang diduga melanggar kesusilaan lewat akun Twitter miliknya: @ypaonganan.

Siapa Yulianus Paonganan? Akrab disapa Ongen, dia bukanlah pedagang sate, melainkan seseorang yang pernah berurusan dengan polisi gara-gara membuat status tak senonoh di Facebook. Ongen pun tak menggunakan akun fiktif, yang bertebaran di media sosial dengan kalimat jorok atau memaki sembarangan. Ongen punya gelar doktor dan menjadi dosen pascasarjana ilmu kelautan Institut Pertanian Bogor. Sulit membayangkan seorang Ongen dengan latar belakang seperti ini mengunggah foto asusila di Twitter. Jangan-jangan kita perlu rumusan baru apa itu asusila.

Syahdan, suatu hari Ongen mengunggah foto Presiden Joko Widodo yang berdampingan dengan artis Nikita Mirzani di akun Twitternya. Sang artis mengenakan celana pendek dan pahanya menyembul seksi. Ini foto asli, bukan editan yang banyak di media sosial. Diambil saat Jokowi berkampanye menjelang pemilihan Gubernur Jakarta sehabis menonton film Brandal Brandal Ciliwung. Foto dijepret pada 10 Agustus 2012, saat Jokowi belum memimpin negeri ini, juga saat Nikita belum terkenal benar.

Yang jadi masalah, hari-hari di saat Ongen mengunggah foto itu, Jokowi adalah presiden, yang harus kita jaga kehormatannya. Sedangkan Nikita sedang "digugat kehormatannya" gara-gara ditangkap di sebuah hotel karena diduga terlibat kasus prostitusi online. Adapun Ongen, yang mendapatkan foto itu dari koleksi unggahan Nikita di Facebook, menulis kalimat yang memang lincip, khas media sosial, yakni "papa minta lonte". Cuitan ini kemudian dijadikan hashtag, bahkan muncul hashtag ikutan "papa minta paha". Kata-kata lonte dan paha jadi "sangat berarti" ketika di foto itu ada wajah Jokowi. Apalagi ada "papa minta", dua kata paling populer yang dijadikan olok-olokan setelah kasus "Papa Minta Saham" yang bikin gaduh negeri ini.

Apakah ini kasus serius sebagai pelanggaran asusila dan menyebarkan pornografi sehingga Ongen harus dijerat dengan Undang-Undang Pornografi serta Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik? Polisi serius menggiring ke arah itu. Apalagi polisi sudah jauh hari mengumumkan akan menertibkan unggahan yang bernada kebencian di media sosial. Boleh jadi kasus Ongen adalah yang pertama masuk ke pengadilan—kalau berlanjut—setelah dimaklumkannya program "Ujaran Kebencian".

Banyak yang khawatir kasus ini akan membuat orang tak berani lagi mengeluarkan komentar dan pendapat kritis di media sosial. Polisi menepis tudingan bahwa penangkapan Ongen karena sikap sinisnya terhadap Jokowi, melainkan semata-mata masalah penyebaran pornografi. Polisi juga membantah rumor bahwa mereka bertindak atas perintah Presiden.

Polisi semestinya tidak perlu berlaku lajak. Kita tentu prihatin melihat media sosial dipenuhi sumpah serapah dan caci maki. Tapi menghukum seseorang karena aktivitasnya di media sosial akan punya efek yang buruk, yakni munculnya penegakan hukum yang digebyah uyah. Hari ini Ongen dihukum karena mengunggah foto Presiden dan artis seksi, besok lusa seorang pengguna media sosial dihukum karena, misalnya, mengunggah foto lurah yang berjoget dengan penyanyi dangdut berpakaian seronok. Saat yang lain, sebuah media digital dihukum karena memasang kartun tokoh publik yang memakai baju you can see. Dengan kata lain, kita berbicara tentang pasal karet.

Siapa pun, termasuk presiden, kalau merasa dicemarkan di media sosial, bisa mengadu ke polisi. Atas pengaduan itulah polisi bertindak dan kasusnya tidak merembet ke mana-mana. Jalan damai pun terbuka ketika sang pengadu dan teradu saling memaafkan. Tak seperti kasus Ongen yang bikin gaduh, menambah kegaduhan tak perlu di negeri ini. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sebaiknya segera direvisi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus