Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DICABUTNYA pelarangan ojek dan taksi online setelah ramai diprotes, sampai Presiden Joko Widodo turun tangan, menunjukkan regulasi itu dibuat tanpa pertimbangan matang. Selain berpikir terlampau kaku dalam menerapkan aturan, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan terkesan tak menghiraukan kebutuhan masyarakat yang kurang mendapat layanan transportasi publik secara memadai.
Berawal dari surat Menteri Jonan kepada Kepala Kepolisian RI pada 9 November lalu agar menindak taksi Uber, Go-Jek, dan GrabBike. Sederet jasa transportasi ini dinilai tidak sesuai dengan ketentuan. Jonan bersandar pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan.
Kedua aturan tersebut melarang kendaraan beroda dua dan mobil berpelat nomor hitam dijadikan angkutan umum. Sebelumnya, polisi bersama Dinas Perhubungan berulang kali merazia taksi Uber—taksi berbasis aplikasi dan menggunakan mobil sewaan. Beribu dalih ditudingkan kepada mereka: tak berizin, tak membayar pajak, memakai pelat nomor hitam.
Larangan itu aneh bin ajaib. Keputusan Menteri Jonan itu menggambarkan dangkalnya dasar argumen Kementerian Perhubungan yang tak mampu mengimbangi perkembangan teknologi dalam menjawab kebutuhan sarana transportasi. Di sejumlah negara maju, bisnis seperti Go-Jek, GrabBike, GrabTaxi, dan Lady-Jek dikenal dengan model bisnis yang disebut sharing economy.
Gagasan itu pertama kali diluncurkan pada 2011 di San Francisco, Amerika Serikat. Aplikasi ini dirintis duo entrepreneur bidang komputer, Garrett Camp dan Travis Kalanick, lantaran merasakan sulitnya mendapatkan taksi yang nyaman di San Francisco. Uber taksi punya ribuan unit armada dalam waktu singkat dengan memanfaatkan sharing economy dengan para pemilik mobil. Model bisnis ala Uber yang baru berumur empat tahun ini berkembang pesat dan telah beroperasi di 60 negara.
Di Indonesia, layanan Uber yang diluncurkan pada Agustus 2014 langsung meroket. Kini mereka punya 10 ribuan unit armada yang beroperasi di Jakarta, Bandung, dan Bali. Di tengah terbatasnya sarana transportasi yang nyaman, ojek dan taksi online ini seperti oasis selain merupakan peluang bisnis menarik. Bagi banyak penganggur, layanan ini merupakan harapan baru. Go-Jek, misalnya, dalam sehari melayani 400 ribu transaksi. Bisa dibayangkan multiplier effect-nya secara ekonomi.
Keputusan melarang taksi dan ojek online juga ditetapkan penuh ambigu. Menteri Jonan dikritik tak konsisten dan mengabaikan teknologi sebagai solusi. Mengapa melarang ojek online, tapi membiarkan ojek biasa? Bila mengacu pada regulasi semata, seharusnya ojek konvensional, jasa kurir bersepeda motor, dan penyewaan mobil berpelat hitam, yang kini berkembang pesat, juga dilarang.
Keputusan Jonan itu juga bertabrakan dengan rencana Menteri Komunikasi dan Informatika yang ingin menumbuhkan seribu perusahaan rintisan berbasis Internet (startup dotcom) asli Indonesia, seperti Go-Jek, Tokopedia, dan Traveloka, pada 2020. Karena itulah Presiden mengajak Nadiem Makarim, pendiri Go-Jek, ikut dalam rombongan kunjungan kerja ke Amerika Serikat, Oktober lalu. Jika perusahaan rintisan itu harus dibenturkan dengan aturan kuno, tentu tak bisa bertahan.
Bisnis ini tetap harus diatur sebijaksana mungkin tanpa menabrak aturan. Pemerintah perlu segera mengubah regulasi ihwal angkutan umum ini agar sesuai dengan perkembangan zaman, sekaligus menjawab tuntutan publik yang belum sepenuhnya mendapat layanan transportasi yang aman dan nyaman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo