Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ARAB Saudi termasuk negara yang doyan membentuk atau terlibat dalam koalisi, terutama untuk tujuan-tujuan politik kawasan. Koalisi militer yang dideklarasikannya dua pekan lalu pun mesti dipahami dalam konteks ini. Tapi, alih-alih demi kepentingan bersama memerangi terorisme, sebagaimana disiarkannya, koalisi ini sebenarnya hanya untuk melayani dirinya sendiri.
Tak perlu bersusah payah untuk mengendus tujuan yang tersamarkan dengan baik itu. Di tengah situasi konflik di Timur Tengah yang tak kunjung reda, khususnya perang saudara di Suriah, upaya apa pun untuk memerangi terorisme tanpa melibatkan Iran hanyalah angan-angan muluk. Apalagi jika dilabeli sebagai kerja sama negara-negara Islam.
Jumlah negara Islam yang dinyatakan terlibat memang tergolong besarada 34. Bandingkan, misalnya, dengan koalisi yang dipimpin Arab Saudi untuk menggempur kelompok Houthi di Yaman. Saat itu, yang dilibatkan hanya negara-negara Arab di kawasan Teluk Persia.
Masalahnya, tak semua negara koalisi bentukan Saudi untuk memerangi terorisme ini punya daya dukung yang kuat, baik dari sisi kemauan politik maupun, apalagi, secara militer. Setidaknya dua negara, yakni Pakistan dan Indonesia, malah terkejut dimasukkan ke koalisi dan merasa dicatut.
Beberapa negara, termasuk Yordania, Uni Emirat Arab, dan Bahrain, sebenarnya pernah ikut serta memerangi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Tapi itu hanya berlangsung sebentar. Sampai pertengahan November lalu, hanya Amerika Serikat sendiri yang melancarkan serangan-serangan udara terhadap posisi ISIS di Suriah. Belakangan, Rusia turun tangan ikut menggempur.
Melihat realitasnya, koalisi itu sudah sejak awal memperlihatkan betapa perjuangannya melawan terorisme, menghentikan sepak terjang ISIS, tak bakal menimbulkan perubahan apa pun. Yang serta-merta menerbitkan pertanyaan justru seberapa besar dana yang mesti digelontorkan untuk memastikan "organisasi" koalisi itu berjalan. Melihat postur kekayaan negara-negara yang terlibat, jelas Arab Saudilah yang bakal berperan sebagai "donor".
Di situ bisa dilihat juga kontradiksinya: bahwa Arab Saudi sebenarnya sulit bisa dianggap sebagai sekutu dalam koalisi. Bukan rahasia lagi, negara itu adalah pengekspor Wahabisme, ideologi "pemurnian" Islam yang menimbulkan radikalisasi di mana-mana, selama bertahun-tahun. ISIS, yang akar ideologinya sama, bukannya tak mengancam Arab Saudi. Tapi kecemasannya yang lebih besar justru timbul karena Iran dan Syiah. Inilah penyebab Arab Saudi memerangi Houthi di Yaman.
Bisa dengan mudah dipahami juga mengapa dalam koalisi tak ditemukan Iran. Keberadaan negara itu sebagai pendukung rezim Bashar al-Assad di Suriah adalah alasan bagi Arab Saudi untuk sejak awal perang mensponsori kelompok-kelompok pemberontak Sunni di Suriah. Tujuannya memastikan Iran dan Syiah tak punya pengaruh terlalu besar di Suriah, Irak, dan kawasan.
Jika mau dipaksakan, masalah-masalah mendasar yang dihadapi koalisi itu bisa diminimalkan jika Arab Saudi terbuka mengelaborasi tujuannya. Negara-negara yang menyetujuinya bisa tetap bertahan. Mereka yang tak cocok dan justru melihat ancaman bisa keluar atau memilih menjaga jarak. Dengan atau tanpa dukungan besar, koalisi itu tak bakal menciptakan perdamaian di Timur Tengah.
Alternatifnya adalah melibatkan Iran. Tapi tentu saja ini hanya kalau yang dilayani memang kepentingan Islam, bukan Arab Saudi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo