Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Putusan MK Nomor 83 Tahun 2024 mengubah relasi perusahaan asuransi dengan nasabahnya.
Perusahaan asuransi tak boleh lagi membatalkan klaim polis asuransi secara sepihak.
Industri asuransi harus beradaptasi dengan perubahan ketentuan ini.
INDUSTRI asuransi di Indonesia baru saja menghadapi guncangan besar. Pada akhir 2024, Mahkamah Konstitusi menerbitkan putusan Nomor 83/PUU-XXII/2024 yang menyatakan Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) inkonstitusional bersyarat. Putusan ini secara fundamental mengubah relasi antara perusahaan asuransi (penanggung) dan nasabahnya (tertanggung).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dulu perusahaan asuransi dapat membatalkan polis secara sepihak jika menemukan tertanggung tidak mengungkapkan informasi material—baik disengaja maupun tidak. Kini, dengan putusan MK tersebut, perusahaan asuransi tidak bisa lagi menggunakan celah administratif untuk menghindari pembayaran klaim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus yang melatarbelakangi putusan ini adalah ketika ahli waris seorang tertanggung, Maribati Duha, menggugat Prudential Life Assurance setelah klaim asuransi jiwa yang seharusnya diterima keluarganya ditolak. Alasannya? Perusahaan menemukan tertanggung memiliki riwayat hipertensi yang tidak diungkapkan. Padahal polis tersebut telah aktif bertahun-tahun dan tertanggung telah mengikuti prosedur pemulihan polis serta membayar premi puluhan juta rupiah.
Dari perspektif hukum, penolakan klaim asuransi ini berdiri di atas pasal yang lahir dari era kolonial, yang kerap dianggap lebih melindungi kepentingan korporasi asuransi ketimbang tertanggung. MK akhirnya menegaskan bahwa asuransi tidak bisa lagi menjadi kontrak sepihak yang lebih menguntungkan pemilik modal dibanding konsumen.
Namun perubahan ini juga memunculkan pertanyaan baru: apakah ini kabar baik bagi tertanggung atau nasabah? Dan bagaimana dampaknya terhadap industri asuransi?
Ketika putusan ini diumumkan, banyak yang menyambutnya sebagai kemenangan bagi konsumen. Tidak sedikit yang merasa bahwa selama ini industri asuransi terlalu sering menggunakan alasan administratif untuk menolak klaim, seakan-akan prinsip utmost good faith hanya berlaku bagi tertanggung.
Dalam teori hukum asuransi, kontrak asuransi seharusnya didasarkan pada iktikad baik dari kedua pihak. Namun, dalam praktiknya, iktikad baik ini sering kali hanya menjadi kewajiban tertanggung.
Perusahaan asuransi kerap meminta nasabah mengisi formulir panjang yang dipenuhi dengan jargon hukum dan sering kali tanpa pendampingan yang memadai. Jika ada satu informasi yang terlewat, tertanggung dianggap melanggar kontrak dan klaim pun ditolak. Kondisi ini menciptakan hubungan yang timpang: tertanggung harus transparan, sementara penanggung bisa berlindung di balik klausul-klausul yang tidak selalu dijelaskan dengan terang.
Putusan MK ini mencoba mengembalikan keseimbangan itu. Dengan tidak lagi memperbolehkan pembatalan polis secara sepihak, tertanggung kini memiliki perlindungan yang lebih kuat dari tindakan penanggung yang tidak beriktikad baik. Hal ini berarti, jika perusahaan asuransi ingin menolak klaim dengan alasan adanya informasi yang tidak diungkapkan, mereka harus membuktikan bahwa informasi tersebut memang berdampak signifikan terhadap risiko yang diasuransikan.
Namun apakah ini benar-benar kabar baik bagi semua tertanggung? Tidak sepenuhnya.
Di satu sisi, tertanggung mendapat perlindungan hukum yang lebih kuat. Namun, di sisi lain, ada kemungkinan konsekuensi ekonomi yang tidak diinginkan. Perusahaan asuransi bukanlah institusi filantropis; mereka beroperasi dengan model bisnis berbasis risiko. Jika mereka tidak lagi bisa membatalkan polis dengan mudah, mereka akan mencari cara lain untuk mengelola risiko mereka.
Salah satu dampak yang paling mungkin terjadi adalah kenaikan premi asuransi. Jika risiko meningkat, premi juga akan disesuaikan untuk menyeimbangkan neraca keuangan perusahaan. Ini berarti biaya asuransi bisa menjadi lebih mahal, terutama bagi kelompok masyarakat yang dianggap memiliki profil risiko lebih tinggi.
Selain itu, perusahaan asuransi akan menjadi lebih ketat dalam proses underwriting. Sementara dulu mereka bisa lebih fleksibel dalam menerima nasabah karena selalu memiliki celah untuk membatalkan polis di kemudian hari, kini mereka harus memastikan setiap nasabah yang mereka terima benar-benar memenuhi standar risiko yang dapat mereka kelola.
Implikasinya? Mungkin saja akan lebih sulit bagi orang-orang dengan kondisi kesehatan tertentu untuk mendapatkan asuransi. Atau bisa jadi mereka akan dikenai premi yang jauh lebih mahal.
Bagi industri asuransi, putusan ini bisa dianggap sebagai disinsentif, terutama bagi perusahaan yang selama ini bergantung pada fleksibilitas yang diberikan oleh Pasal 251 KUHD. Dengan meningkatnya jumlah klaim yang harus dibayarkan, profitabilitas perusahaan asuransi bisa terancam.
Dalam jangka pendek, hal ini mungkin akan menyebabkan restrukturisasi produk asuransi, dengan beberapa perusahaan mengurangi cakupan perlindungan mereka atau menaikkan premi untuk semua produk asuransi individu. Namun, jika dilihat dari perspektif jangka panjang, putusan ini bisa menjadi peluang bagi industri asuransi untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat.
Salah satu masalah utama yang selama ini menghambat pertumbuhan industri asuransi di Indonesia adalah rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap produk asuransi. Banyak orang ragu membeli asuransi karena mendengar cerita tentang klaim yang ditolak tanpa alasan yang jelas. Jika putusan MK itu memaksa industri asuransi menjadi lebih transparan dan akuntabel, bisa jadi ini langkah pertama menuju industri asuransi yang lebih sehat.
Namun, untuk mencapai itu, industri asuransi harus melakukan beberapa penyesuaian. Bahasa polis harus dibuat lebih sederhana dan mudah dipahami, terutama yang berkaitan dengan klausul pengecualian serta hak dan kewajiban tertanggung. Selain itu, perusahaan asuransi harus meningkatkan akurasi dalam sistem underwriting mereka sehingga mereka bisa lebih baik dalam menilai risiko sejak awal, tanpa bergantung pada pembatalan polis di kemudian hari.
Di sisi lain, tertanggung juga harus menyadari bahwa putusan ini bukanlah izin untuk sembarangan memberikan informasi saat membeli asuransi. Jika ada kesalahan dalam pengisian formulir, tertanggung sebaiknya segera mengoreksi sebelum polis disetujui, bukan menunggu sampai klaim diajukan.
Pertanyaan terbesar dari putusan ini bukanlah tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah. Hal yang lebih penting adalah bagaimana industri asuransi beradaptasi dengan perubahan ini. Jika perubahan ini dikelola dengan baik, kita bisa melihat industri asuransi yang lebih adil, lebih transparan, dan lebih dipercaya oleh masyarakat.
Namun, jika industri asuransi merespons putusan ini dengan cara yang salah—misalnya dengan menaikkan premi secara berlebihan atau memperketat proses underwriting secara ekstrem—yang terjadi bukanlah keadilan, melainkan makin sulitnya akses terhadap perlindungan asuransi bagi masyarakat luas.
Pada akhirnya, industri asuransi adalah bisnis yang bergantung pada kepercayaan. Dan tanpa kepercayaan itu, tak ada polis yang cukup bernilai. ●
Redaksi menerima artikel opini dengan ketentuan panjang sekitar 7.500 karakter (termasuk spasi) dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan profil ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo