Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMANGKASAN lebih dari separuh masa hukuman jaksa Pinangki Sirna Malasari menunjukkan betapa bobroknya peradilan di negeri ini. Kasus ini juga memperkuat dugaan masih merajalelanya jaringan mafia hukum yang merusak semua lini penegakan hukum kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pinangki diseret ke pengadilan karena menerima suap sekitar Rp 7 miliar dari terpidana kasus korupsi hak tagih Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra. Pinangki menerima persekot suap untuk mengurus pembebasan Joko dari hukuman, lewat peninjauan kembali dan permintaan fatwa kepada Mahkamah Agung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Patut diduga, Pinangki hanya satu simpul dari jaringan mafia hukum yang bergerak untuk membebaskan Joko Tjandra. Buktinya, menjadi buron sejak 2009, Joko bisa keluar-masuk Indonesia berkat bantuan pengacara, pegawai kelurahan, hingga jenderal polisi. Besar kemungkinan, mafia hukum telah bekerja jauh sebelum kejahatan Pinangki tersingkap pada Agustus 2020. Indikasinya, sebagai pegawai biasa di Kejaksaan Agung, Pinangki bisa wira-wiri ke luar negeri tanpa izin. Selama 2019 saja dia sebelas kali ke luar negeri, di antaranya untuk bertemu dengan Joko Tjandra.
Ketika menawarkan proposal pengurusan fatwa MA kepada Joko, Pinangki pun tak lupa “mencatut” nama Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin dan Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali. Pinangki menjanjikan bahwa Jaksa Agung akan menyurati Ketua Mahkamah Agung ihwal fatwa tersebut. Tanpa jaminan dari pejabat yang lebih tinggi, sulit dipercaya Pinangki akan berani senekat itu.
Sebulan setelah penangkapan Pinangki, Kejaksaan Agung pun menerbitkan pedoman yang mensyaratkan izin dari kejaksaan apabila ada lembaga lain yang hendak memeriksa jaksa. Meski pedoman itu akhirnya dicabut, kesan bahwa kejaksaan menghalang-halangi penyelidikan Pinangki tak bisa sirna begitu saja.
Di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Pinangki terbukti melakukan tiga tindak pidana: menerima suap, melakukan pencucian uang, dan membuat permufakatan jahat. Karena itu, majelis hakim tingkat pertama sudah sepantasnya memvonis Pinangki sepuluh tahun penjara, jauh lebih berat dari tuntutan jaksa.
Namun Pinangki kembali mendapat perlakuan istimewa di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Majelis hakim banding memangkas masa hukuman Pinangki hingga empat tahun penjara. Pertimbangan hakim menginjak-injak akal sehat dan logika hukum. Hakim berdalih, Pinangki adalah seorang ibu yang layak diberi kesempatan mengasuh anaknya. Hakim juga menyebutkan Pinangki seorang perempuan yang harus mendapat perhatian dan perlindungan. Tak hanya mengada-ada, dalih semacam itu juga diskriminatif karena tak pernah dipakai untuk meringankan hukuman terdakwa perempuan lain.
Alih-alih meringankan, hakim banding seharusnya memperberat hukuman Pinangki. Sebab, Pinangki adalah penegak hukum yang justru merusak hukum. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menegaskan, vonis bagi penegak hukum yang melakukan kejahatan seharusnya ditambah sepertiga dari vonis untuk orang biasa.
Permufakatan jahat Joko Tjandra, jaksa Pinangki, dan penegak hukum lain jelas makin merusak kepercayaan publik terhadap sistem hukum di negeri ini. Demi memulihkan wibawa dan penegakan hukum, tak ada pilihan lain, jaringan mafia hukum yang berupaya membebaskan Joko Tjandra dan meringankan hukuman Pinangki harus dibongkar. Pengusutan atas majelis hakim banding kasus Pinangki seharusnya menjadi pintu masuk untuk memberantas jaringan mafia hukum yang lebih besar.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo