Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Bahasa Langit

Selain segi fungsi, segi prestise menjadi latar belakang pemakaian ragam bahasa tinggi.

25 Juli 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Bahasa Langit

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nur Hadi*

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM sebuah kolom opini, seorang dokter menyalahkan penjelasan perihal virus corona yang terlalu banyak menggunakan bahasa asing, semacam physical distancing, rapid test, dan lockdown, yang kemungkinan besar akan sulit dipahami kalangan akar rumput yang notabene berpendidikan rendah. Bukan hanya artinya, celakanya, kata-kata asing yang cenderung serupa dengan “bahasa langit” tersebut juga kurang dipahami maksudnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tentu saja “bahasa langit” ini tak terbatas pada penggunaan bahasa asing yang belepotan atau bersebaran di tengah-tengah masyarakat aneka bahasa. Problem utama “bahasa langit” ini adalah kesenjangan bahasa tutur antara penutur dan komunikan (penerima pesan) serta kekurangpahaman penutur atas komunikan. Kesenjangan tersebut bisa berpangkal pada kekurangpahaman penutur akan kemampuan komunikan dalam menerjemahkan bahasa komunikasi serta perbedaan status sosial-budaya di antara keduanya. Meski beberapa faktor penyebabnya sama, hal ini berbeda dengan kasus diglosia, ketika penutur memiliki kesadaran saat memakai ragam bahasa tinggi (high dialect). Dalam konsep diglosia, ragam bahasa dipakai dengan kesadaran akan fungsi-fungsinya.

Contoh diglosia bisa kita lihat secara langsung pada garis pembatas antarbahasanya. Bahasa sastra, yang secara gramatikal dan leksikal ditata secara teliti demi mendapatkan makna (tafsiran) kedua atau ketiga, jelas berbeda dengan bahasa kebanyakan yang tak memiliki aturan terstruktur dalam penggunaan dan (biasanya) hanya memiliki makna tunggal. Seorang sastrawan tentu saja harus mengerti kapan ia harus menggunakan bahasa sastra dan kapan ia harus memakai bahasa kebanyakan. Demikian juga kitab suci agama samawi, yang struktur bahasanya telah diketahui amat berbeda jauh dengan bahasa pasaran masyarakat tempat ia diturunkan. Karena itulah seorang pedakwah dituntut memiliki keahlian untuk menyederhanakan, menjelaskan, dan mengorelasikan bahasa kitab suci ke dalam konteks masyarakat yang dia tuju.

Saya kutipkan penjelasan Ferguson (melalui Prof Dr Sumarsono) mengenai diglosia dalam beberapa segi. Selain segi fungsi seperti dalam penjelasan di atas, segi prestise menjadi latar belakang pemakaian ragam bahasa tinggi. Perasaan lebih unggul, lebih gagah, atau lebih logis membuat ragam bahasa rendah sengaja dihindari.

Ciri ketiga adalah segi warisan tradisi tulis-menulis. Seperti yang kita ketahui, tradisi tulis-menulis adalah kelanjutan dari tradisi kepujanggaan yang hanya dilakukan kaum terpelajar, priayi, atau pujangga—kaum yang notabene terbiasa menggunakan ragam bahasa tinggi.

Ciri selanjutnya adalah stabilitas. Pemakaian ragam bahasa tinggi dalam diglosia senantiasa stabil lantaran memang disengaja. Pemertahanannya dimaksudkan agar dua ragam bahasa (ragam bahasa tinggi dan rendah) senantiasa ada dan dipakai dalam situasi dan kondisi masing-masing. Seorang imam ketika berkhotbah Jumat di masjid sudah pasti menggunakan bahasa yang jauh berbeda dengan saat menasihati anak atau tetangganya. Seorang Ketua Dewan Perwakilan Rakyat juga akan menggunakan bahasa yang berbeda ketika berpidato di depan forum dengan saat ngobrol bersama teman-teman alumnus sekolahnya.

Melihat kasus imbauan perihal peperangan dengan wabah Covid-19 di atas, tampaknya memang terdapat beberapa elemen yang menjadikannya pengecualian dari konsep diglosia. Dalam situasi penyebaran penyakit yang telah menjadi pandemi, imbauan tersebut sudah pasti ditujukan untuk semua masyarakat yang memiliki aneka bahasa. Jika demikian, seharusnya pengimbau sadar bahwa ragam bahasa tinggi akan menjadi kendala bagi mereka yang tak terbiasa menggunakan, mendengarkan, atau membacanya. Maka tak aneh jika didapati kasus-kasus penyimpangan akibat salah informasi.

Ketika seorang dokter harus mengabarkan perihal penyakit yang baru saja dia diagnosis dari pasiennya, apakah dia harus memakai bahasa medis lengkap dengan istilah-istilahnya yang akan susah dimengerti? Tentu saja dokter harus menggunakan bahasa yang bisa dipahami pasiennya agar resep yang dia berikan menjadi makin efektif.

“Bahasa langit” yang saya maksud dalam esai ini adalah bahasa yang tak mempertimbangkan komunikan. Ia disuarakan tapi berakhir hanya menjadi gema di langit (dan hanya bisa dipahami “penduduk langit”). Sejak awal, ia (seolah-olah) kehilangan makna lantaran menyepelekan atau kurang memperhatikan komunikan. Ini seperti halnya seorang mantri tani yang menggunakan puisi padahal hanya disuruh mengabari petani agar jangan terlalu banyak menggunakan pupuk kimia.

*) Penulis cerita pendek, puisi, dan novel

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus