Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPUTUSAN pemerintah mengubah skema pengembangan Blok Masela kini harus dibayar mahal. Gara-gara memaksakan pembangunan fasilitas pengolahan gas alam cair di darat, megaproyek tersebut molor jauh dari jadwal semula. Kini, proyek itu terancam mangkrak setelah Shell Upstream Overseas Services Ltd berniat hengkang dari Masela.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kabar mundurnya Shell dari proyek di Lapangan Abadi, Maluku, sudah santer sejak awal Juli lalu. Perusahaan asal Belanda ini telah menyampaikan rencana divestasi 35 persen hak partisipasi Blok Masela kepada Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Keputusan ini merupakan pukulan telak bagi pemerintah, yang tengah berusaha menggenjot aliran modal asing di tengah pandemi Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berubahnya skema pengembangan gas dari kilang terapung ke daratan empat tahun lalu memang meninggalkan tanda tanya besar. Poten & Partners, konsultan asal Inggris yang ditunjuk pemerintah, menyimpulkan bahwa opsi lepas pantai lebih murah dan menguntungkan. Namun pemerintah keukeuh memilih onshore. Kini terbukti pilihan tersebut mengakibatkan ongkos Masela lebih mahal Rp 73 triliun, yakni US$ 19,8 miliar (Rp 289 triliun) berbanding US$ 14,8 miliar (Rp 216 triliun).
Perubahan opsi itu juga membuat realisasi proyek mundur sekitar tiga tahun. Sebagai kontraktor, Inpex Masela Ltd dan Shell harus mengulang semua proses dari awal: dari merevisi rencana pengembangan, melakukan pembebasan lahan, menyusun analisis dampak lingkungan, hingga mendesain rekayasa. Inkonsistensi kebijakan ini meruntuhkan rencana pengembangan kilang lepas pantai yang sudah mendapat persetujuan sejak 2010. Semestinya, jika tetap di lepas pantai, Masela sudah berproduksi pada 2024.
Celakanya, pembahasan rencana pengembangan Masela masih juga berlarut-larut meski Inpex dan Shell telah merevisinya. Kementerian Energi sulit menerima kenyataan bahwa pembangunan fasilitas di darat lebih mahal daripada skema offshore. Pemerintah baru menyetujui proposal tersebut pada Juli tahun lalu. Bila semuanya lancar, blok yang memiliki cadangan 10,73 triliun kaki kubik ini baru bisa mengalirkan gas paling cepat kuartal kedua 2027. Molornya proyek Masela membuat negara kehilangan potensi pendapatan sedikitnya US$ 3,6 miliar atau sekitar Rp 50,5 triliun setiap tahun.
Dengan Shell berencana mundur, pembangunan proyek ini jadi kian berantakan. Pemerintah boleh saja mengiming-iming perpanjangan kontrak hingga 2055, tapi Shell punya kalkulasi sendiri. Kebijakan yang berubah-ubah membuat perusahaan ini mencoret Masela dari daftar prioritas. Rontoknya harga minyak dan gas sejak awal tahun memperkuat keputusan Shell karena nilai keekonomiannya tak tercapai.
Rencana Shell tersebut pasti mengakibatkan proyek kembali tersendat karena tak mudah mencari kontraktor pengganti untuk proyek sebesar itu. Sang pendatang baru minimal mesti menyiapkan duit sekitar Rp 100 triliun. Dalam keadaan ekonomi dunia yang morat-marit akibat pandemi Covid-19, banyak perusahaan akan menahan diri. Apalagi situasi bisnis minyak dan gas juga sedang berada di titik nadir. Situasi ini diprediksi berlangsung hingga 10 tahun ke depan.
Belum lagi masalah kelebihan pasokan di pasar gas dunia saat ini yang akan menyulitkan kontraktor memasarkan gas alam cair ke calon pembeli potensial. Padahal biasanya proyek gas baru dibangun setelah mendapatkan pembeli (off taker). Artinya, sebelum jelas pembelinya, Inpex dan siapa pun mitranya kelak tak akan mulai membangun proyek Masela. Inilah harga yang harus dibayar pemerintah akibat proyek ekonomi dihitung menggunakan kalkulasi politik jangka pendek.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo