Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pertarungan Dua Pesan Keagamaan

Dadi Darmadi, Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Jakarta dan dosen Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.

25 Juli 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
TEMPO/Gunawan Wicaksono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMANYA Ustad Toto. Penampilannya kalem, suaranya pelan. Dia ustad muda yang sering memberikan ceramah di kampung dan pelosok desa di sebuah kabupaten di sebelah utara Jawa Barat. Berbekal pengalaman belajar pidato sewaktu mondok di pesantren dan mengaji kitab—biasanya kitab-kitab klasik yang disebut kitab kuning—Ustad Toto sering diundang datang ke acara pengajian dan upacara keagamaan di desanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak lulus dari madrasah dan pesantren di Bandung, sepuluh tahun silam, ia menjadi guru ngaji di kampungnya. Sebagai guru agama, tak seberapa penghasilannya. Sesekali dia membantu orang tua dan keluarganya yang petani.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pelan-pelan Ustad Toto mulai diundang mengisi pengajian bapak-bapak di masjid dan ibu-ibu di majelis taklim di kampung. Ia disukai ibu-ibu karena ceramahnya dalam bahasa Sunda mudah dipahami. Tema yang diusung dalam ceramahnya lebih banyak mengajak kesalehan pribadi dan berbuat baik kepada sesama.

Meski tidak terlalu sering, ia juga memberi ceramah di acara formal dan seremonial di desa. Sesekali ia berceramah dengan bahasa Indonesia, terutama di sekolah dan madrasah. Anak-anak sekolah, meskipun tidak begitu antusias, memang sering diharuskan mengikuti acara keagamaan dan hari besar agama Islam di sekolah.

Mungkin karena itu Ustad Toto tak populer di kalangan anak muda di kampungnya. Di daerah perkotaan pun anak-anak sekolah dan generasi muda lebih menyukai film, musik, dan hiburan. Jikapun mengikuti acara mengaji, mereka lebih terpikat kepada para pedakwah yang bisa dengan mudah mereka tonton lewat Internet di komputer atau telepon seluler.

Tak banyak disadari keberadaannya, peran pedakwah kampung seperti Ustad Toto sangat penting dalam membangun kesadaran beragama di akar rumput masyarakat kita. Ironisnya, pengaruh mereka sekarang kian tergerus oleh industri hiburan dan media massa yang cenderung mengemas agama sebagai komoditas komersial.

Dakwah sederhana mereka juga tergencet oleh penetrasi teknologi digital yang kian menjadi rujukan anak-anak muda. Para ustad kampung ini kalah piawai memakai media sosial dibanding pedakwah beken yang pesan-pesan keagamaannya justru kurang toleran dan inklusif.

Gejala Konservatisme Menguat

Dua tahun lalu, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (PPIM UIN) Jakarta melakukan survei nasional untuk mengetahui siapa saja penceramah dan pedakwah yang menjadi rujukan di Internet dan media sosial di Indonesia.

Hasilnya, Mamah Dedeh menduduki peringkat pertama dengan 43 persen suara, disusul Yusuf Mansur (28 persen), Zakir Naik (20 persen), Aa Gym (14 persen), dan Rizieq Shihab (10 persen). Di luar lima besar itu, sejumlah nama beken ustad dan ustazah terpilih. Ceramah-ceramah mereka tidak sedikit yang kontroversial.

Setahun kemudian, Setara Institute mengadakan riset serupa di 10 kampus ternama di Indonesia. Mereka menemukan ahli dan tokoh agama Islam sekaliber Profesor Quraish Shihab dan KH Mustofa Bisri sudah kalah populer dibanding Ustad Felix Siauw, Ustad Salim A. Fillah, dan Ustad Adi Hidayat—sedikit di antara nama ustad beken belakangan ini.

Di sekolah dan kampus, bacaan dan literatur keagamaan yang populer bukanlah buku teks atau buku pedoman agama Islam yang diajarkan para dosen agama Islam, melainkan buku karya Hasan al-Banna (Mesir) dan Aid al-Qarni (Arab Saudi). Buku terjemahan bahasa Arab yang mengusung tema tertentu sangat digemari. Sementara itu, buku keagamaan yang bertema pembaruan Islam karya pemikir dan intelektual Islam asli Indonesia, seperti Nurcholish Madjid, Ahmad Syafi’i Ma’arif, dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), seolah-olah menghilang dari peredaran.

Fenomena itu meneguhkan pandangan bahwa masyarakat muslim Indonesia pada umumnya adalah konservatif. Apa pun yang ditanyakan dalam riset dan survei terkait dengan sikap umat Islam terhadap agama lain, sudah bisa ditebak arah dan kecenderungan jawaban-jawabannya. Demikian juga jawaban atas pertanyaan seputar sikap muslim Indonesia terhadap penganut agama di luar Islam, bahkan kepada sesama muslim tapi dari kelompok Islam yang berbeda mazhab.

Yang mengkhawatirkan, beberapa survei terakhir dari PPIM UIN Jakarta dan berbagai lembaga survei lain, seperti Wahid Foundation dan Alvara Research Center, menemukan indikasi bahwa belakangan ini konservatisme di kalangan umat Islam justru makin meningkat. Bahkan, jika dilihat dari laporan riset dan survei lembaga-lembaga ini, tren konservatisme yang diperkuat oleh sikap intoleran di tengah umat ini terlihat menguat dari tahun ke tahun.

Pertarungan antara kaum pluralis dan anti-pluralisme, antara kalangan progresif dan konservatif, seperti yang terjadi di Indonesia dewasa ini sebenarnya bukan hal baru. Menurut sejarawan Merle Ricklefs, misalnya, di Jawa sejak abad ke-19, interaksi masyarakat Islamnya ditandai oleh perbedaan sikap serta pandangan antara kaum yang disebut abangan dan kaum putihan.

Kubu pertama mengadopsi Islam tapi bertahan dengan kebudayaan lokal, sementara yang kedua menjadi Islam dengan menjalankan praktik dan ibadah versi ortodoks secara mendalam. Meskipun awalnya tidak sedemikian keras, perbedaan itu perlahan-lahan kemudian menjadi perseteruan di antara kedua kelompok.

Sebelumnya, pertentangan serupa dijelaskan oleh antropolog Clifford Geertz pada 1950-an dengan agak kompleks. Perbedaan aliran di Jawa, menurut Geertz, adalah antara kaum abangan, santri, dan priayi.

Tentu banyak yang sudah tidak lagi percaya kepada penjelasan politik aliran seperti ini. Saat ini ibaratnya yang bertarung sengit adalah mereka yang dulu sama-sama santri. Perbedaannya adalah kaum santri di zaman sekarang ada yang mengambil jalan plural, sementara ada juga yang menempuh jalur konservatif dan cenderung eksklusif.

Pesan Keagamaan dan Budaya Visual

Selain latar belakang pertentangan itu, pada saat yang sama terjadi pergeseran budaya dalam cara umat menerima dakwah. Pesan keagamaan tidak lagi sebatas disampaikan di tempat pengajian dan masjid, tapi juga di radio dan televisi.

Kehadiran para pedakwah populer dengan pesan dakwah kepada kelompok muda dan urban makin melekatkan kesan menguatnya budaya visual dalam dakwah Islam. Belakangan, para ustad dan ustazah ini tampil atau ditampilkan lewat rekaman video yang sudah diedit rapi dalam kanal YouTube serta berbagai platform media sosial.

Pesan keagamaan bukan melulu didengarkan, tapi dilihat dan ditonton. Dakwah mulai bergeser dari yang tadinya “pesan” menjadi “kesan”: sejauh mana ia berkesan secara visual di mata para pemirsanya.

Karena ia tontonan, penampilan fisik (dan nonfisik) para pedakwah menjadi elemen penting. Demikian halnya atribut lain, dari baju gamis, peci, sampai busana muslimah dan jilbab.

Di televisi, di mana program keagamaan Islam mendapat tempat, para pedakwah ditampilkan bukan hanya pada jam-jam pagi/dinihari ketika orang masih tidur lelap, tapi juga masuk acara pagi yang berkategori prime time. Bahkan ada beberapa program keagamaan Islam yang ditayangkan dan harus berkompetisi dengan program berita.

Akibatnya, bisa dibayangkan jika biaya produksi acara agama Islam di televisi melonjak tajam. Makin populer, maka makin mahal biayanya. Untuk itu, perlu sponsor, iklan, dan sebagainya.

Pergeseran ini sebenarnya menarik untuk dicermati. Dalam literatur studi agama dan media, ada agama yang kaya akan tradisi dan budaya “visual”. Estetika visual bisa menjadi hal penting dalam membawa efek kesalehan dan keyakinan keagamaan bagi para penganutnya.

Islam semula tidak seperti itu. Islam lebih sering diidentikkan sebagai agama dengan budaya “auditory”— pendengaran. Antropolog Talal Asad pernah mengatakan bahwa teknologi suara serta ritual menyimak dan mendengarkan adalah aktivitas sensorik penting bagi pengalaman keagamaan seorang muslim. Misalnya orang bisa khusyuk membaca dan terharu mendengarkan tilawah Al-Quran.

Dengan demikian, kehadiran para pedakwah muslim yang populer telah mengubah lanskap keagamaan. Di televisi, kehadiran mereka bisa sangat menarik secara visual dengan iringan musik yang indah, syahdu, atau ingar-bingar. Di Internet dan media sosial, kehadiran mereka ditunggu para pengikut karena pesan keagamaan mereka yang berbeda dan kadang kontroversial.

Semua Ada Masanya

Walhasil, kini banyak yang ingin melihat dakwah dan pesan keagamaan bukan hanya karena ia dianggap “benar”, tapi juga karena dikemas secara apik, menarik, enak dilihat, asyik ditonton, sedang viral, dan kontroversial.

Tapi, hemat saya, jika yang dicari adalah melulu soal konten keagamaan yang sedang viral dan kontroversial, sebenarnya semua itu ada masanya. Ia menjadi menarik dan penting karena sedang menjadi trending topic semata.

Sementara itu, di kampung dan pelosok pedesaan, pesan keagamaan seperti yang diusung tokoh bersahaja semacam Ustad Toto—penampilannya masih kalem, suaranya pelan—akan terus ada meski tidak banyak terendus media massa.

Sosok mereka tidak pernah viral dan barangkali tidak kontroversial, tapi sebenarnya tak kalah penting. Ia seolah-olah jauh dari radar kita yang sering kali lebih sibuk melihat segala sesuatu, termasuk soal pesan keagamaan, dari sudut sejauh mana ia menyebar secara cepat dan luas.

Di tengah merebaknya gaya dan model pedakwah populer yang ramai berseliweran menghiasi hari-hari kita di Internet dan media sosial, kita rindu akan sosok alternatif yang bersahaja. Kita membutuhkan para pemberi pesan keagamaan yang tenang, santun, dan manusiawi seperti yang ada di kampung dan pelosok desa.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus