Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Bergibah di Media Sosial

Untuk satu bahasa yang dinamis seperti bahasa Indonesia, usaha pemerkayaan serta pemadanan kosakata dan istilah penting dilakukan. Apalagi jika bahasa itu terus-menerus digempur bahasa asing.

12 Juni 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Bergibah di Media Sosial

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Darmawati M.R.*

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FOTO aksi pengendara sepeda motor yang viral pada 28 Mei 2021 memang sangat sinematik. Foto itu tidak hanya menyibukkan warganet “bergibah di kolom komentar”, tapi juga memunculkan satu kata yang bisa jadi merepotkan bahasa Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam utas kiriman di Twitter tersebut, saya menemukan kata doxing. Konon, pengendara motor berpelat AA itu di-doxing. Padanan kata doxing belum terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Dalam satu artikel yang ditulis Megan Garber pada 7 Maret 2014 di Theatlantic.com, saya menemukan titik terang. Doxing merupakan slang dari bahasa Inggris yang merujuk pada perilaku menggali lalu membeberkan informasi pribadi milik seseorang di Internet. Dox lebih sering mengacu pada konotasi negatif, bukan hanya dianggap melanggar privasi seseorang, tapi juga digunakan sebagai semacam mekanisme pembalasan dalam diskusi-diskusi daring.

Kata dox berasal dari docs, bentuk pendek dari document karena informasi yang sering dibeberkan di Internet itu berupa dokumen. Kata itu pertama kali muncul pada 1990, saat seorang warganet di mailing list Usenet membongkar identitas asli pemilik akun tertentu untuk membalas kekurangbernasan argumennya. Lalu, pada 2011, kata doxing kembali populer saat satu kelompok peretas di Amerika Serikat mengaku bertanggung jawab atas tersebarnya informasi pribadi lebih dari 40 polisi Los Angeles Police Department, termasuk beberapa dokumen penting, seperti kontribusi kampanye, catatan properti, nama anggota keluarga, alamat masing-masing, dan informasi sensitif lain.

Apakah kata gibah mampu mewakili konsep doxing tersebut?

KBBI mencatat lema gibah sebagai kata kerja, berasal dari bahasa Arab yang berarti membicarakan keburukan (keaiban) orang lain; bergunjing. Sementara itu, dalam kosakata bahasa Inggris, ada kata gossip, dipadankan menjadi gosip dengan arti “obrolan tt orang-orang lain; cerita negatif tt seseorang; pergunjingan. Selain mempunyai kata gossip, bahasa Inggris memiliki kata rumor, yang diberi tiga penjelasan dalam Kamus Merriam-Webster, yaitu: 1) pembicaraan atau opini yang disebarluaskan tanpa sumber yang jelas, 2) pernyataan atau laporan terbaru tanpa otoritas yang diketahui kebenarannya, dan 3) pembicaraan atau laporan tentang orang atau peristiwa terkenal (ark.). Ketiga makna itu dirangkum KBBI menjadi satu kata saja: “gunjingan”.

Tidak semua kata dan istilah asing harus dicarikan padanannya. Itu perbuatan yang sulit, tidak hanya karena melibatkan perbedaan latar belakang sosial dan budaya, tapi juga menyangkut selera. Kata posting, meeting, catering, hosting, dan yang teranyar kata ghosting sudah telanjur populer dan digemari masyarakat.

Apa salahnya dengan menggunakan istilah yang sudah lazim di masyarakat? Perlu diingat, kata dan istilah asing yang sudah lazim tidak selalu berarti dapat diucapkan dengan baik. Sering kali kata dan istilah asing itu justru membuat kewalahan lidah orang Indonesia yang beragam suku bangsa dan bahasa daerah. Saya teringat kata flashdisk yang sering dilafalkan serampangan menjadi “plesdis” atau kata birthday diucapkan (juga ditulis) “bestday”.

Untuk satu bahasa yang dinamis seperti bahasa Indonesia, usaha pemerkayaan serta pemadanan kosakata dan istilah penting dilakukan. Apalagi jika bahasa itu terus-menerus digempur bahasa asing. Bahasa yang tak memiliki konsep kaya dan tidak pula diupayakan pemerkayaan kosakatanya lambat-laun akan ditinggalkan penuturnya. Mengapa? Bahasa itu tidak lagi memadai digunakan dalam berkomunikasi. Juga bergibah.

Dalam urusan pergibahan, barangkali tidak ada lidah yang kewalahan. Apalagi ada media sosial yang memberi keluasan yang sebebas-bebasnya. Apalagi jika melibatkan kegemaran mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris karena itu merupakan penanda sah tingkat kecerdasan dan luasnya pergaulan.

Kita sudah begitu rentan sekaligus permisif terhadap gibah. Kehadiran media sosial mengubah polanya. Dahulu, pada masa sebelum telepon seluler pintar hadir di rumah-rumah berlantai tanah, gibah hanya menyangkut orang yang dikenal: tetangga, rekan kerja, atasan. Saat ini, obrolan menggiurkan itu tidak lagi terjadi di ruang-ruang privat, tapi sudah merambah ke ranah-ranah publik, hadir di lini masa, dan percakapan di grup WhatsApp. Keterjangkauannya pun tak kebal sekat geografis. Topiknya beragam, dari soal ujian alih pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi, pembajakan buku, sinetron Zahra, bupati A yang berselingkuh, koleksi mobil mewah artis R, pernikahan glamor anak anggota Dewan K di tengah pandemi, sampai pada ketidakhadiran negara dalam banyak persoalan krusial negeri ini. Nah, negara saja bisa menjadi bahan gibah, apalagi hanya seorang pengendara sepeda motor?

*) PENULIS ADALAH PENELITI DI KANTOR BAHASA PROVINSI GORONTALO
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus