Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nazarudin*
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BEBERAPA waktu lalu, jagat maya diramaikan oleh perbincangan tentang definisi lema (entri kamus) “perempuan” di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang menimbulkan perdebatan. Banyak argumen yang dilontarkan oleh para pengkritik, terutama dari kacamata gender dan sejarah penggunaan kata “perempuan” itu sendiri. Kritik atas definisi terhadap lema yang menyudutkan salah satu gender tertentu sebenarnya terjadi pada kamus-kamus lain di dunia. Salah satu studi menyebutkan kritik semacam ini juga pernah tertuju kepada penyusun kamus Oxford Advanced Learner edisi 1995. Pada waktu itu, pengkritik menyematkan label “sexist” untuk beberapa contoh yang dimuat dalam lema “chick” dan “bird” dengan definisi yang berkonotasi “perempuan muda”. Selain itu, pada edisi pertama Collins COBUILD English Language Dictionary, datang pula kritik terhadap kemunculan kata perempuan yang cukup sering dalam contoh kalimat yang terkait dengan obat-obatan terlarang dan alkohol.
Definisi atas lema-lema dalam sebuah kamus mungkin sekali dapat menjadi hal yang sensitif sehingga memicu perdebatan. Webster’s New Collegiate Dictionary edisi ke-8 pernah memberikan informasi tentang perubahan definisi atas lema “effeminate” yang sebelumnya didefinisikan dengan “having feminine qualities (as weakness or softness) inappropriate to a man”, yang kemudian diubah menjadi “having feminine qualities untypical of a man”. Beberapa ahli perkamusan kemudian mensitasi lema tersebut sebagai salah satu contoh bagaimana perlakuan terhadap terminologi yang bersifat sexist dalam kamus telah menunjukkan perkembangan yang baik.
Kembali pada kritik atas definisi entri “perempuan” dalam KBBI. Berikut ini adalah definisi atas entri “perempuan” yang saya tangkap dari situs KBBI daring. Hal yang juga menarik, menurut saya, justru terlihat dari jawaban pihak Badan Bahasa sendiri atas sejumlah kritik tersebut. Badan Bahasa memuat satu artikel dalam situsnya yang menanggapi kritik tersebut. Dalam tanggapan resmi dari situs Badan Bahasa juga ditegaskan “gabungan kata pada entri perempuan seperti perempuan geladak, perempuan jalang, dan perempuan simpanan dengan sangat mudah ditemukan dalam korpus dengan frekuensi penggunaan yang tinggi”. Ditegaskan kembali bahwa, berdasarkan hal tersebut, tim editor KBBI mengklaim pihaknya mempunyai alasan yang sangat kuat untuk tetap mempertahankannya sebagai suatu fakta kebahasaan yang harus dicatat dalam kamus.
Pertanyaan yang kemudian muncul dalam benak saya adalah korpus (sumber data) yang mana yang dipakai oleh Badan Bahasa? Kemudian berapa kira-kira frekuensi kemunculan gabungan kata tersebut? Saya lantas mencoba mengecek berdasarkan korpus bahasa yang tersedia secara daring dan dapat diakses gratis yang disusun oleh Leipzig University, Jerman. Korpus ini memang tidak terlalu besar, hanya memuat 74 juta lebih kalimat dalam bahasa Indonesia yang dihimpun dari tulisan-tulisan yang ada secara daring sejak 2012 sampai 2018.
Menurut sumber data tersebut, gabungan kata “kaum perempuan” memiliki kemunculan tertinggi dengan mencapai lebih dari 150 ribu kali. Selain itu, gabungan kata lain yang memiliki kemunculan cukup tinggi adalah “keterwakilan perempuan”, “pemberdayaan perempuan”, “peran perempuan”, “caleg perempuan”, dan “aktivis perempuan”. Gabungan kata tersebut memperlihatkan hal yang justru berlawanan dengan yang disampaikan dalam tanggapan dari Badan Bahasa.
Perlu juga kita melihat kemunculan gabungan kata dengan posisi kata “perempuan” di sebelah kanan. Menurut data, ada beberapa gabungan kata yang berkonotasi negatif, seperti “perempuan sundal”, “perempuan jalang”, dan “perempuan penghibur”, yang frekuensi kemunculannya di antara 800 dan 1.000 kali. Namun tetap masih belum terlihat gabungan kata seperti “perempuan geladak”, “perempuan jahat”, dan “perempuan jalanan” sebagaimana yang tertera dalam KBBI.
Dari beberapa gabungan kata yang terdapat di KBBI, hanya ada satu gabungan kata yang memang kemunculannya tinggi dalam korpus ini, yaitu “perempuan jalang”. Dengan demikian, paling tidak dalam korpus ini gabungan kata yang terlihat tidak senegatif yang disebutkan oleh Badan Bahasa. Toh, dalam data, gabungan kata seperti “perempuan Indonesia”, “perempuan lajang”, bahkan “perempuan pekerja” juga muncul dengan frekuensi yang jauh lebih tinggi dibanding kata-kata negatif tersebut.
Pada hakikatnya, tidak ada kamus yang selesai atau tuntas dalam merekam sebuah bahasa. Toh, kamus berhenti pada satu target, sementara bahasa akan terus bergerak dan berubah, bersama dengan penggunanya tentu. Dengan demikian, diperlukan adanya keluwesan dari sebuah kamus dan juga para penyusunnya untuk terus menerima dan beradaptasi dengan perubahan.
*) DOSEN PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA UNIVERSITAS INDONESIA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo