Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dhoni Zustiyantoro*
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETIKA membuka pameran lukisan Man x Universe, maestro lukis Srihadi Soedarsono berulang kali menjelaskan begitu dominannya keterlibatan rasa dalam setiap proses penciptaan karya lukisannya. Rasa dalam falsafah hidup orang Jawa tidak muncul sebagai perasaan seketika, tapi ditimbang-timbang secara penuh dengan melibatkan penalaran dan perasaan (Kompas, 15 Maret 2020).
Rasa telah lama menjadi perhatian Srihadi dalam karya-karyanya. Bambang Budjono dalam “Srihadi Antara Ada dan Tiada” (Tempo, 9 Juli 2012) menyebutkan pameran ke-16 Srihadi tidak menangkap jasmani atau yang nyata, tapi esensi dan suasana. Sedangkan dalam pameran untuk memperingati ulang tahunnya yang ke-70, awal 2016, Srihadi mengambil tema “Perjalanan Rasa”. Dia mengatakan rasa sebagai satu pengalaman transendental, penjiwaan dari perubahan-perubahan tahapan usia yang dijalaninya, diwujudkan dalam karya estetika dan kebenaran. “Dari awal berkarya itu yang keluar rasa dari kalbu. Rasa itu menggali apa yang keluar dari diri kita dan mengembara,” ujar Srihadi (Tempo, 14 Januari 2016).
Penjabaran rasa dalam konteks budaya Jawa bisa sangat rumit dan subyektif. Dalam istilah Jawa, rasa bukan hanya istilah yang diterapkan pada pengalaman indrawi yang menggiring pada estetika, melainkan juga sebuah organ kognitif yang digunakan secara aktif dalam praktik mistik. Paul Stange dalam buku Politik Perhatian: Rasa dalam Kebudayaan Jawa (2009) menjelaskan, rasa menjadi penghubung antara realitas makna yang mencoba obyektif dan taraf batin yang mendalam.
Dalam bahasa Sanskerta, rasa lebih bersifat estetis dan bukan psikologis. Terdapat kesinambungan interpretasi yang menjalar dari Sanskerta melalui bahasa Kawi ke dalam bahasa Jawa kontemporer. Kesinambungan resonansi dalam bahasa dan alam pikir Jawa memperlihatkan bagaimana orang Jawa memasukkan pola pikir India ke budayanya. Dalam Sanskrit in Indonesia (1973), J. Gonda mengakui tidak mudah menyatakan dengan tepat konotasi kata tersebut. Kata rasa sering dipakai untuk menerjemahkan kata Arab, sirr (rahasia), “Misteri yang merujuk pada unsur yang paling halus dan yang laten dalam hati nurani manusia, yang disebut sebagai tempat Tuhan bertakhta, tempat di mana ruh dan Tuhan bersatu….”
Dalam konteks tertentu, ajaran-ajaran kebatinan juga menyebut rasa sebagai rasa sejati, yaitu tempat penganutnya mengadakan kontak dengan pribadi sejati (essence). Harun Hadiwijono dalam The Concept of Man in Present Javanese Mysticism (1967) menyatakan rasa sejati adalah inti sari dari kehidupan emosional, “…ia adalah gerbang atau ambang pintu ke arah kemungkinan mengada yang tidak berwujud nyata.”
Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebut beberapa pengertian rasa. Satu yang paling dekat dengan definisi ala Jawa adalah “tanggapan hati terhadap sesuatu (indra): -- sedih (bimbang, takut)”. Kamus Bausastra (1939) mengartikan rasa sebagai “kawruh sing mahyakake prakara sing sinamar” (ilmu yang menjelaskan perihal yang tersamar).
Peliknya urusan rasa-lah yang lantas mendorong manusia Jawa untuk reflektif. Melalui Wulangreh, Pakubuwana IV mewanti-wanti agar manusia Jawa jangan merasa sudah mendapatkannya, tapi diminta untuk terus mengupayakan dan mencari: …akeh kang ngaku-aku/ pangrasane sampun udani/ tur durung wruh ing rasa/ rasa kang satuhu/ rasane rasa punika/ upayanen darapon sampurna ugi/ ing kauripanira (“banyak yang mengaku/ merasa perasaannya sudah memahami/ dan (padahal) belum melihat rasa/ rasa yang sejati/ rasa dari rasa itu/ upayakanlah supaya semakin sempurna/ di dalam kehidupanmu”).
Kebudayaan Jawa merekam, urusan rasa bisa sangat subyektif dan berbeda pemerolehan, bahkan pengertian, antara satu orang dan yang lain. Alam pikir Jawa meyakini perbedaan itu disebabkan oleh pangudi. Keinginan dan kesempatan untuk mengasah rasa bisa berbeda pada tiap individu. Kesadaran untuk saling menjaga pe-rasa-an menjadi kunci keselarasan dalam kehidupan bersama. Jalan keluar menyelesaikan permasalahan adalah ngraosaken raosing sanes, merasakan rasa orang lain, seperti ditawarkan Ki Ageng Suryomentaram (1892-1962), yang mendalami psikologi Jawa.
Ajakan untuk reflektif dan menjaga rasa supaya obyektif dan adil terhadap liyan muncul dalam surat kabar Kejawen edisi 24 November 1928. Dalam rubrik Raos Jawi, dibahas pentingnya tidak menentukan ukuran kebenaran berdasarkan raosipun piyambak (rasa pribadi). Asumsi dan praduga terhadap orang lain akan membuat ewahing raos (berubahnya rasa), yang juga tidak akan dirasakan. Problem psikologis itu muncul karena orang memberikan penilaian berdasarkan rasa pribadi.
*) Dosen Sastra Jawa Universitas Negeri Semarang
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo