Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Lelaki dari Tepi Danau Singkarak

Seabad berselang, tanah kelahiran Muhamad Radjab yang diceritakan dalam bukunya, Semasa Kecil di Kampung, tak banyak berubah hingga kini.

4 Juli 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Anak-anak Nagai Sumpu di tepi Danau Singkarak, 2017./Tempo/Febrianti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA berjalan kaki memasuki Nagari Sumpur, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, empat anak Muhamad Radjab langsung tertegun. “Kampung Papa kok kayak hutan,” kata salah satu anaknya, memandangi kampung yang tertutup pohon-pohon besar. Radjab tersenyum. Ia lalu membawa anaknya ke rumah ibu tirinya, Nuri, yang terletak di pinggang bukit. Pertengahan Agustus 1970, Radjab diundang Pemerintah Provinsi Sumatera Barat mengikuti seminar sejarah dan budaya Minangkabau di Batusangkar, ibu kota Kabupaten Tanah Datar. Lokasinya berjarak sekitar 26 kilometer dari Sumpur. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Sumpur, Nuri tinggal bersama Mariana, adik tiri Muhamad Radjab. Di rumah itulah Radjab melewati masa kecilnya. “Papa bahagia sekali selama di Sumpur karena setelah menikah tidak pernah pulang kampung lagi. Terakhir dia ke sana pada 1951,” kata Irwan, anak kedelapan Radjab, akhir Juni lalu. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari Jakarta, Radjab membawa empat anaknya, Elisabeth, Herawati, Irwan, dan Julius, ke Sumpur. Rencananya, setelah mengikuti seminar, Radjab akan pergi dulu ke Kuala Lumpur, Malaysia, baru kemudian menjemput anak-anaknya sebelum kembali ke Jakarta. Namun ia meninggal sebelum rencana itu terlaksana, saat sedang bercerita kepada kerabatnya di sebuah masjid di kampung tersebut. 

Anak-anak di Batu Beragung, pinggir Danau Singkarak, Nagari Sumpu, Sumatra Barat 2017./Tempo/Febrianti

Gambaran tentang Nagari Sumpur saat ini tak jauh berbeda dengan deskripsi Radjab dalam bukunya, Semasa Kecil di Kampung. Buku itu diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka pada 1950. Tahun lalu, Balai Pustaka menerbitkannya kembali bersama Kepustakaan Populer Gramedia. Jorong Nagari, kediaman Radjab kecil yang dulu dikenal sebagai Sumpur Atas, masih rindang. Sebagian besar yang tumbuh di sana adalah pohon sawo yang besar dan tua. Dari dataran tinggi itu terlihat lembah Sumpur yang subur, Danau Singkarak yang indah, barisan pohon kelapa, persawahan, dan puluhan rumah gadang.  

Pada masa kecil Radjab, di Sumpur terdapat sekitar 200 rumah gadang. Namun, karena sudah lewat satu abad, banyak rumah gadang yang telah rusak lantaran lapuk, roboh, ataupun dibakar semasa perang Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia. Kini hanya tersisa 62 rumah gadang di sana. Salah satunya milik keluarga Amrina, istri Radjab. 

Adapun rumah gadang milik keluarga ibu Radjab di Jorong Seberang Air di pinggir bukit sudah tidak ada lagi. Dibanding dalam cerita buku Semasa Kecil di Kampung, Nagari Sumpur, yang kini dihuni 700 keluarga, sekarang terkesan sepi. Sebagian besar penduduknya pergi ke sawah dan ladang, sementara yang lain merantau. 

Masjid Abrar, tempat Radjab kecil mengaji dan tidur bersama kawan-kawannya di Sumpur Atas, Tanah Datar, Sumatra Barat./Dok. Keluarga

Yang tak berubah: Nagari Sumpur menawan dari berbagai sudut, seperti dituturkan Radjab. Surau tempat Radjab kecil mengaji dan tidur bersama kawan-kawannya, juga tempat berlatih silat di halamannya, masih ada di Sumpur Atas. Tempat itu kini menjadi Masjid Abrar. Tidak ada lagi bangunan kayu seperti dulu, berganti dengan tembok berkelir kuning muda dan atap kubah merah tua. Kuburan Angku Khatib atau Muhamad Jamil, ayah Radjab, ada di area halaman masjid. Adapun Radjab dimakamkan di permakaman keluarga ibunya di Jorong Seberang Air. 

Tepi Danau Singkarak masih permai. Di Batu Beragung, pinggir Danau Singkarak tempat Radjab sering mandi dan menghabiskan waktu saat Ramadan masih seperti kolam kaca raksasa yang bening dan asri. Tempat itu rindang oleh pohon ketapang dan beringin. Undak-undakan batu besar berwarna hitam di sana disebut batu beragung karena akan berbunyi seperti gong saat dipukul. Batu yang diceritakan Radjab itu masih ada. Begitu pula Batu Bajanjang, tangga yang disusun dari batu ke dalam danau.  

Lain halnya dengan Batu Bersurat yang berisi tulisan Sanskerta di dinding dekat Batu Beragung, yang sudah lama jatuh ke dalam danau. “Mungkin jatuh saat gempa. Arkeolog dari Batusangkar pada 1970 pernah menyelam ke danau untuk mencarinya, tapi batu itu tidak terlihat lagi. Apalagi arus airnya sangat kuat,” tutur Ketua Forum Kampung Minang Nagari Sumpur, Kamrita. 

Buku karya Muhamad Radjab yang diterbitkan oleh Balai Pustaka./ Dok. Keluarga

Menurut dia, dari cerita leluhur, Batu Beragung dulu tempat peristirahatan raja, mungkin pada masa Adityawarman. Hingga kini, Batu Beragung masih menjadi tempat favorit warga Sumpur. Seperti dalam cerita masa kecil Radjab, setiap kali Lebaran, di Batu Beragung masih digelar sejumlah perayaan. Di antaranya pacu biduk (balap perahu) serta pertunjukan silat dan kesenian tradisional. “Buku-buku Pak Radjab, termasuk yang bercerita soal Sumpur, tersimpan di rumah gadang saya. Buku itu dulu diberikan anak beliau saat datang ke sini,” ucap Kamrita, yang juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Tanah Datar.  

FEBRIANTI (PADANG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus