Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Samsudin Adlawi*
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banjir masih saja datang pada akhir April lalu. Sebelumnya, awal tahun ini, masyarakat Jakarta dan sekitarnya (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) mendapat “hadiah” spesial: banjir bandang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menakrif banjir bandang sebagai “banjir besar yang datang dengan tiba-tiba dan mengalir deras menghanyutkan benda-benda besar (kayu dan sebagainya)”. Banjir yang melanda wilayah Jabodetabek pada awal Januari lalu menghanyutkan apa saja yang dilaluinya. Bukan hanya batang dan ranting pohon, perabot rumah tangga dan perangkat elektronik pun terbawa derasnya banjir. Bahkan puluhan mobil yang terparkir di sejumlah tempat ikut hanyut tersapu derasnya air bah.
Bukan hanya harta dan benda, nyawa puluhan warga ikut “hanyut” terseret bandangnya banjir Jabodetabek. Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat, hingga 3 Januari, 43 orang meninggal akibat banjir Jabodetabek (Tempo edisi 6-12 Januari 2020). Banjir bandang itu seperti monster. Sangat menakutkan. Ia melabrak rumah-rumah warga secara tiba-tiba, lalu mengusir penghuninya ke tempat pengungsian.
Banjir di Jabodetabek memang layak disebut bandang. Datangnya air, ketika itu, persis seperti yang dilukiskan KBBI dalam lema bandang, yakni “besar dan deras (tentang arus air)”. Rasanya tidak ada lagi level banjir di atas bandang. Namun bandang hanya melukiskan kehebatan banjir, tidak sampai ke detail ukuran ketinggian airnya.
Ada dua alat yang lazim digunakan untuk mengukur ketinggian air (banjir). Pertama, pengukur ketinggian air analog. Alat itu menggunakan penggaris besar, yang biasanya diletakkan di bagian pinggir sungai yang tegak. Kita sering menjumpainya di beberapa pintu air. Warnanya sangat mencolok. Biasanya biru dan putih. Dari alat analog, dapat diketahui tinggi air secara langsung. Hanya, petugas harus memantau terus-menerus ketinggian air, yang berubah-ubah. Untuk menentukan ketinggian pasti atau rata-rata airnya, petugas juga harus melakukan penghitungan secara manual. Itulah kekurangan pengukur ketinggian air analog.
Sekarang sudah ada alat pengukur ketinggian air digital. Teknologi digital membuat alat itu bisa mengukur ketinggian level air secara otomatis dan akurat. Ketinggian air dari dasar ke permukaan ditentukan dengan prinsip teknologi laser. Hasilnya langsung bisa dilihat di layar penampil kristal cair (LCD). Bentuk alat itu tidak terlalu besar, jadi bisa dibawa ke mana-mana.
Dua jenis alat pengukur ketinggian air itu cukup membantu. Tapi masyarakat Indonesia tidak mau ribet. Mereka punya cara sendiri untuk mengukur ketinggian air banjir, yang sama sekali tidak berkaitan dengan analog, apalagi digital. Metode pengukuran yang digunakan masyarakat sangat sederhana, sesederhana alat yang digunakan. Kapan pun, alat tersebut bisa dipakai. Tidak perlu mencari atau membelinya. Cukup berdiri tegak. Sebab, alat itu menempel di tubuh.
Dari telapak kaki sampai ujung kepala, bisa lahir setidaknya lima level ketinggian banjir. Untuk ukuran banjir paling dangkal, masyarakat memanfaatkan level kaki. “Jangan cemas, airnya hanya semata kaki,” ujar teman saya mengabarkan kondisi banjir yang terjadi di tempat tinggalnya.
Sejam kemudian, dia kembali berkirim kabar. Karena hujan tidak kunjung reda, ketinggian air di rumah dia terus mengalami kenaikan. Mulanya air naik sampai selutut, tapi dengan cepat terus meninggi menjadi sepinggang.
Tim dari satuan tugas penanggulangan bencana setempat meminta semua warga segera mengungsi. Sebab, ketinggian air bah terus mengalami kenaikan signifikan. Dalam tempo tidak sampai satu jam, ketinggian air sudah sedada, lalu naik lagi menjadi seleher. Bahkan, ketika semua orang sudah mengungsi, genangan air mencapai sekepala.
Lima level ketinggian banjir itu, mulai semata kaki hingga sekepala, mengacu pada tubuh orang dewasa. “Ketinggian air di lokasi saya saat melaporkan ini sudah sepinggang orang dewasa,” kata seorang reporter televisi sambil meminta kamerawan mengarahkan moncong kamera ke arah badannya, yang terendam separuh.
Saya segera mengambil meteran. Saya berdiri tegak, lalu mengukur. Ternyata semata kaki sama dengan 10 sentimeter. Selutut = 45 cm. Sepinggang = 90 cm. Sedada = 125 cm. Seleher = 140 cm. Dan sekepala = 165 cm.
Dalam kondisi prihatin pun, masyarakat Indonesia tetap kreatif. Saat kebanjiran, secara refleks mereka menggunakan tubuh sebagai media ukur ketinggian airnya. Jika ada yang menyebutkan ketinggian air banjir mencapai sepinggang orang dewasa, orang langsung mafhum ketinggian itu mencapai 90 sentimeter. Kearifan lokal memang kerap melahirkan bahasa yang praktis.
*) WARTAWAN JAWA POS, PENYAIR
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo