Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ondel-ondel dan Politik Memori Jakarta

JJ Rizal, sejarawan

10 April 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ondel-ondel dan Politik Memori Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah Jakarta kembali melarang ondel-ondel dipakai mengamen.

  • Ondel-ondel Jakarta dari dulu memang untuk mengamen.

  • Mengamen dianggap hina.

BERSAMA ini dipermaklumkan dengan hormat kepada para pembaca sekalian, wabil khusus pejabat pemerintah di Jakarta dan sekitarnya, agar memahami betul-betul bahwa ondel-ondel menurut sejarah serta tradisi memang mengamen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berani sumpah, mengamen adalah salah satu kata kunci dalam kesenian Betawi. Th. Pigeaud dalam bukunya yang masyhur, Javaanse Volkvertoningen (1928), menyediakan bagian khusus ketika sampai pada pembahasan seni pertunjukan di Batavia abad ke-19 yang disebut straatvertoningen atau pementasan jalanan. Melalui perjalanan ulang-alik mengamen, pementasan jalanan ini menandai ruang kota kolonial Batavia dan sekitarnya dengan kontur ingatan agar tak melulu identitas kulit putih. Karena itu, Pigeaud menegaskan betul mengamen sebagai asal-usul dan tradisi kesenian Betawi jalanan tersebut yang terkenal dan menjadi warisan historis kini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebut saja topeng Betawi. Teater ini bermula dari gejala kesenian, yang disebut Pigeaud permainan topeng kecil atau klein maskerspel yang sohor disebut topeng Babakan. Topeng Babakan mengamen dari Cirebon bergerak ke barat melalui Karawang menjadi topeng Banjet, berakhir di Batavia serta sekitarnya menjadi topeng Betawi. Jika saja topeng Babakan tidak mengamen keluar dari daerah asalnya pada akhir abad ke-19, mungkin tidak akan pernah terbentuk identitas baru kesenian rakyat topeng Betawi yang melahirkan Bokir, Nori, Bodong, Nasir, dan Malih.

Ninuk Kleden, peneliti topeng Betawi, menyatakan pertunjukan ini semacam suatu bentuk teater yang hina karena meminta uang ala kadarnya dari penonton, sebagaimana pengemis yang meminta sedekah. Para pemainnya pun dari kelas sosial-ekonomi bawah yang pada musim-musim tertentu—biasanya musim paceklik—pergi mengamen. Mereka berkelana sampai tak pulang dalam waktu cukup lama, ke luar kampung menyusur jalan di kanda wetan (Bekasi) ataupun kanda kulon (Jakarta).

Begitu juga yang dilakukan ondel-ondel. Pigeaud, dalam bagian reuzenmommen in optochten atau karnaval boneka raksasa, menyebutkan barongan atau ondel-ondel di Batavia masuk konsep straatvertoningen itu. Seperti halnya topeng Betawi sebagai pertunjukan jalanan yang tradisi awalnya mengamen, kemudian oleh orang Betawi dianggap bagian dari ritual untuk menjaga keselarasan antara alam dan manusia, begitu pula ondel-ondel, yang dipercaya memiliki kekuatan magis tolak bala.

Surat kabar Pemberita Betawi pada 12 Juli 1901 memberitakan ondel-ondel yang makin sering mengamen saat wabah kolera menyerang Batavia. Sebelumnya, pada 21 Agustus 1888, ondel-ondel—seperti halnya barongsai—diarak orang kampung, seperti diberitakan surat kabar Sinar Terang, karena dipercaya dapat mengusir setan kolera di Batavia. Bahkan arsitek Blankenberg dan W. Schoemacher, selain menanam kepala kerbau agar semua kejahatan pergi dari bangunan Nederlandsch-Indische Handelsbank yang akan didirikan pada 1937, mengundang arak-arakan ondel-ondel.

Pertunjukan jalanan lain adalah tanjidor. Sejarawan Mona Lohanda dalam satu pidatonya di Museum Sejarah Jakarta pada 1988 mengungkapkan, tradisi pemusik tanjidor mengamen dimulai dari kebiasaan brass band atau fanfare yang umumnya memainkan lagu militer untuk parade baris-berbaris pada zaman kompeni dan berlanjut sampai 1954. Ujug-ujug pada tahun ini raib tanjidor yang mengamen dari rumah ke rumah. Tanjidor yang menjadi bintang terang sumber pamor pesta tahun baru Cina dan tahun baru Masehi di Betawi pun lenyap.

Semua lantaran Wali Kota Sudiro mengeluarkan larangan tanjidor mengamen saat itu. Alasannya: tidak elok. Apalagi menggunakan seni tradisi yang luhur untuk memperoleh persenan uang. Sangat memalukan, katanya. Itu bukan lagi mengamen, tapi mengemis. Kelompok-kelompok tanjidor pun dirazia dan ditekan sedemikian rupa sehingga pada 1955 mulai mengalami masa surut. Sudiro berupaya memindahkan tanjidor dari jalanan ke tempat mengamen buatan di restoran dan taman hiburan rakyat. Tapi gagal. Selain banyak restoran menolak, tumbuh mafia pertunjukan.

Antropolog James Danandjaja menyebutkan tindakan Wali Kota Sudiro bukan hanya menjadi lonceng kematian tanjidor, tapi juga banyak jenis pementasan jalanan lain yang menjadi penanda Betawi yang multikultur di ruang publik, seperti ondel-ondel dan topeng Betawi. Tindakan itu juga dikatakan menjadi awal kepunahan ekologinya, yaitu feast atau pesta rakyat, seperti Imlek dengan Cap Go Meh. Semua bertambah buruk setelah 1965, ketika Orde Baru menerapkan politik exorcism atau pengusiran yang berbau Cina karena menganggap setan jahat. Termasuk seni rakyat yang dicap berbahaya membentuk massa, terutama kaum miskin kota. Sebuah ruang warga kota merajut identitas dan memori kolektif yang penting selama ratusan tahun diberangus.

Untuk bangkit lagi, pementasan jalanan Betawi perlu menunggu 20 tahun lebih, saat Jakarta dipimpin Ali Sadikin. Tapi ini pun hanya ditampilkan dalam perayaan hari ulang tahun Jakarta serta di Taman Ismail Marzuki, Taman Mini Indonesia Indah, atau Ancol. Artinya, roh Tanjidor sebagai pementasan jalanan tidak kembali. Rezim mengingatkan warga kota pada memori kolektif mereka, tapi sambil menghapus atau mengubahnya sesuai dengan kebutuhan legitimasi yang diperlukan. Sampai di sini, kesenian rakyat menjadi artefak budaya tontonan kelas menengah-atas Jakarta.

Sebagai ibu kota kekuasaan bercorak Jawa feodal, Jakarta pun terkontaminasi cara memandang kesenian sebagai sesuatu yang adiluhung atau bagian dari budaya warisan leluhur nan agung. Akibatnya, kesenian rakyat Betawi makin jauh dari harkatnya sebagai pementasan jalanan. Mereka dipaksa mengorbit dalam hofvertoning atau pementasan keraton. Tapi siapa sangka, ondel-ondel dapat keluar dari kungkungan keratonisasi itu dan menemukan kembali identitas azalinya sebagai pementasan jalanan.

Pada 2011, di berbagai wilayah ondel-ondel muncul mengamen. Ondel-ondel ikut memaknai kembali ruang publik yang pernah dimiliki di Batavia dulu. Terlepas dari kekurangannya, hal ini jelas telah memberi warna Betawi yang lama diabaikan (kalau tidak dapat dikatakan dihapuskan) dari ruang publik Jakarta. Di balik kontroversinya, tak bisa dinafikan kehadiran kembali ondel-ondel ini telah membentuk kontur memori lokal warga Jakarta dari dominasi ikon kapitalisme dan budaya global.

Sampai di sini, wacana Jakarta kota untuk semua dan manusiawi yang terus menguat selepas reformasi diuji. Pelarangan dengan razia ondel-ondel kini memperlihatkan bahwa Kota Jakarta masih didominasi wacana lama zaman Sudiro dan Soeharto: keamanan-ketertiban. Artinya, suatu ruang yang steril dari orang dan kebudayaan kelas bawah.

Susan Blackburn dalam bukunya yang sudah menjadi klasik, Jakarta: A History, menyebutkan ihwal pemerintah yang tidak cukup puas hanya melakukan eksklusi atau pengambilan tanah orang Betawi dengan berbagai cara untuk kepentingan modal, tapi juga ingin menertibkan dan menjaga memori kolektif tentang kebudayaan mereka agar tidak muncul di permukaan, selamanya tersimpan aman dalam kotak “cagar budaya”. Ruang publik yang dibangun di atas bekas kampung-kampung Betawi dikontrol sedemikian rupa bukan untuk sisa-sisa kebudayaan Betawi kota Jakarta masa lalu. Mereka dilokalisasi di pinggiran, seperti di Condet dan kemudian Setu Babakan.

Keadaan itu mengindikasikan bahwa, setelah reformasi, ruang publik Jakarta tetap masih belum sehat dan memiliki kedudukan serta eksistensi lemah jika terkait dengan memori kolektif warga Betawi. Pemerintah tak juga insaf dan berhenti mendominasi, menaklukkan, atau mengkriminalkan ingatan yang tidak sejalan dengan kepentingan mereka atas kota. Dalam situasi begini, pemegang otoritas tidak akan memahami, apalagi mau merangkul kebudayaan rakyat Betawi yang identik dengan mengamen itu. Sebaliknya, mereka justru arogan menggebah.

Itu bukanlah satu-satunya alasan karena bias kelas juga mempengaruhi persepsi terhadap kebudayaan pementasan jalanan Betawi. Jakarta sejak merdeka memang dibentuk dalam konteks penciptaan “kelas menengah” bangsa. Politik kebudayaan zaman Sukarno ataupun Soeharto memberi cap yang kuat tentang modernitas kelas menengah yang dibuat berlawanan dengan representasi kelas bawah.

Karena itu, meskipun pembangunan Jakarta merupakan produk kapitalisme dan budaya global, mereka tidak serta-merta mampu menciptakan wujud dan identitas kota. Untuk memenuhi misi ini, politik rezim yang berkuasa dalam menentukan pilihan memori di ruang kota memainkan peran penting. Sampai di sini jelas bahwa ondel-ondel dan jenis kebudayaan jalanan Betawi lain tidak akan mendapat ruang seraya tinggal menjadi memori yang tak terwadahi di ruang publik.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus